TOLAK UKUR BAIK DAN BURUK MENURUT AJARAN ISLAM
Tolok ukur
kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Demikian rumus
yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Perlu ditambahkan, bahwa apa yang dinilai
baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak
mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan
esensinya buruk.
Ajaran Islam adalah ajaran yang
bersumber dari wahyu Allah swt,. Al-Qur’an yang penjabarannya dilakukan oleh
hadis Nabi Muhammad saw. Masalah akhlak mendapat tempat perhatian yang besar
dalam Islam. Penentuan baik dan buruk harus didasarkan kepada petunjuk
al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad saw.
Konsep Baik dalam ajaran Islam, misalnya:
1.
Hasanah; sesuatu yang disukai atau
dipandang baik (QS. 16: 125, 28: 84)
2.
Tayyibah; sesuatu yang memberikan kelezatan
kepada panca indera dan jiwa (QS. 2: 57).
3.
Khair; sesuatu yang baik menurut umat
manusia (QS. 2: 158).
4.
Mahmudah; sesuatu yang utama akibat
melaksanakan sesuatu yang disukai Allah (QS. 17: 79).
5.
Karimah; perbuatan terpuji yang ditampakkan
dalam kehidupan sehari-hari (QS. 17: 23).
6.
Birr; upaya memperbanyak perbuatan baik
(QS. 2: 177).
Dengan demikian
menjadi wajar kalau kemudian ada ulama’ yang menegaskan bahwa melakukan
kebaikan lebih mudah dibandingkan kejahatan. Muhamad Abduh misalnya, dengan
merujuk kepada Qs. al-Baqarah (2):286—laha ma kasabat wa ’alaha ma
iktasabat—(untuk manusia ganjaran bagi perbuatan baik yang dilakukannya dan
sanksi bagi perbuatan (buruk) yang dilakukannya), menyatakan bahwa iktasabat—dan
semua kata yang berpatron demikian, memberikan arti adanya semacam upaya
sungguh-sungguh dari pelakunya, bebeda dengan kasabat yang berarti
dilakukan dengan mudah tanpa paksaan. Ini menandakan bahwa fitrah manusia pada
dasarnya cenderung kepada kebaikan, sehingga dapat melakukan kebaikan dengan
mudah. Berbeda dengan keburukan yang harus dilakukannya dengan susah payah dan
keterpaksaan (ini tentu pada saat fitrah manusia masih berada dalam
kesuciannya).
Adanya potensi
manusia untuk bertindak baik dan buruk, meski kecendetungan mendasarnya ke arah
kebaikan, jelas relevan dengan adanya konsep baik dan buruk dalam teori
etika/akhlak. Memang dalam wacana teologis dikenal adanya dua konsep yang
berlainan mengenai hal itu, yang antara lain direpresentasikan oleh Mu’tazilah
dan Asy’ariah. Bagi Mu’tazilah, baik dan buruk itu bersifat esensial, dimana
keadilan misalnya, ia dikatakan baik karena memang esensinya baik dan
sebaliknya keburukan semisal dusta, ia dinyatakan buruk karena memang esensinya
adalah buruk. Terhadap dua pandangan kontras ini kemudian M. Quraish Shihab
memberikan penegasan bahwa tolok ukur kebaikan dan keburukan hanyalah ketentuan
Allah yakni wahyu (al-Qur’an dan al-Hadis). Lebih jauh Shihab menambahkan,
bahwa apa yang dinilai baik oleh Allah pastilah baik esensinya. Demikian pula
sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan misalnya sebagai kelakuan
baik, karena kebohongan esensinya adalah buruk. Kalau memang demikian dapat
dikatakan bahwa kebaikan adalah hal-hal yang sesuai dengan ketentuan dan aturan
Tuhan, dan pasti baik bula esensinya; sedangkan kejahatan adalah hal-hal yang
dilarang dan tidak sesuai dengan aturan-aturan Tuhan, dan tentu juga buruk
esensinya.
Semua sifat
Allah tertuang dalam Al-Quran. Jumlahnya bahkan melebihi 99 sifat yang populer
disebutkan dalam hadis. Sifat-sifat
Allah itu merupakan satu kesatuan. Bukankah Dia Esa di dalam zat, sifat, dan
perbuatan-Nya? Karenanya tidak wajar jika sifat-sifat itu dinilai saling
bertentangan. Artinya, semua sifat memiliki tempatnya masing-masing. ada tempat
untuk keperkasaan dan keangkuhan Allah, juga tempat kasih sayang dan
kelemah-lembutan-Nya. Ketika seorang Muslim meneladani sifat Al-Kibriya'
(Keangkuhan Allah), ia harus ingat bahwa sifat itu tidak akan disandang oleh
Tuhan kecuali dalam konteks ancaman terhadap para pembangkang, terhadap orang
yang merasa dirinya superior. Ketika Rasul Saw melihat seseorang yang berjalan
dengan angkuh di medan perang, beliau bersabda: "Itu adalah cara berjalan
yang dibenci Allah, kecuali dalam kondisi semacam ini".
Seseorang
yang berusaha meneladani sifat Al-Kibriya' tidak akan meneladaninya kecuali
terhadap manusia-manusia yang angkuh. Dalam konteks ini ditemukan riwayat yang
menyatakan: "Bersikap angkuh terhadap orang yang angkuh adalah
sedekah".
Ketika
seorang Muslim berusaha meneladani kekuatan dan kebesaran Ilahi, harus diingat
bahwa sebagai makhluk ia terdiri dan jasad dan ruh, sehingga keduanya harus
sama-sama kuat. Kekuatan dan kebesaran itu mesti diarahkan untuk membantu yang
kecil dan lemah, bukan digunakan untuk menopang yang salah maupun yang
sewenang-wenang. Karena ketika Al-Quran mengulang-ulang kebesaran Allah,
Al-Quran juga menegaskan bahwa:
“Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang,
angkuh lagi membanggakan diri (QS Luqman [31]: 18)”.
Jika seorang
Muslim meneladani Allah Yang Mahakaya, ia harus menyadari bahwa istilah yang
digunakan Al-Quran untuk menunjukkan sifat itu adalah Al-Ghani. Ini yang
maknanya adalah tidak membutuhkan dan bukan kaya materi sehingga esensi sifat
itu (kekayaan) adalah kemampuan berdiri sendiri atau tidak menghajatkan pihak
lain, sehingga tidak perlu membuang air muka untuk meminta-minta.
“Orang-orang yang tidak tahu, menduga mereka kaya,
karena mereka memelihara diri dari meminta-minta (QS
Al-Baqarah [2]: 273).”
Tetapi dalam
kedudukan manusia sebagai makhluk, ia sadar bahwa dirinya amat membutuhkan
Allah:
“Wahai seluruh manusia, kamu sekalian adalah
orang-orang faqir (butuh) kepada Allah (QS Fathir [35]: 15).”
Nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam, rasul kita yang mulia mendapat pujian
Allah. Karena ketinggian akhlak beliau sebagaimana firmanNya dalam surat Al
Qalam ayat 4. bahkan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menegaskan
bahwa kedatangannya adalah untuk menyempurnakan akhlak yang ada pada diri
manusia, “Hanyalah aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak.”
(HR.Ahmad, lihat Ash Shahihah oleh Asy Syaikh al Bani no.45 dan beliau
menshahihkannya.
Kesimpulan
Dari uraian
di atas, dapat disimpulkan bahwa tolok ukur baik dan buruk ditentukan
berdasarkan wahyu Allah dalam Al qur’an dan dalam prakteknya atau teladannya
adalah akhlak Rasulullah SAW. Tolok ukur segala kebaikan dalam hal ini adalah akhlak
manusia adalah seperti yang diperintahkan oleh Allah dalam firmannya serta
akhlakulkarimah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan tolok ukur
segala keburukan adalah segala sesuatu yang dilarang atau tidak diperintahkan
oleh Allah dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi muhammad SAW.
0 komentar:
Posting Komentar