DAFTAR
ISI
DAFTAR
ISI i
BAB
I PENDAHULUAN 1
A. Latar
Belakang 1
B. Rumusan
Masalah 1
C. Tujuan
Masalah 1
BAB
II PEMBAHASAN 2
A. Definisi 2
B. Prospek, kendala dan strategi penyaluran dana
Ijarah Muntahia
Bittamlik
5
BAB
III PENUTUP 7
A. Kesimpulan 7
B. Saran 7
DAFTAR
PUSTAKA 8
A. Latar
Belakang Peristiwa Kemerdekaan Indonesia
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang
kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio
bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah
bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan
yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman
bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan
proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara
kerja PPKI.[2] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno,
Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan
karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena
Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari
perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta
menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum
yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat
itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat
fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa
Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan
buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah'
dari Jepang (sic).
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena
Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan
Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini
melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut,
golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak
menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun
dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu,
mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka
menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian
Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi
penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di
Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo
kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara
(Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan
ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum
menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari
Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di
kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan
yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak
dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus
pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul.
Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa
Rengasdengklok.
B. Perumusan
Kemerdekaan Indonesia
Rombongan tiba kembali di Jakarta
pada pukul 23.30 waktu Jawa. Setelah Sukarno dan Hatta singgah di rumah
masing-masing rombongan kemudian menuju ke rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam
Bonjol No. 1, Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional). Hal itu juga disebabkan
Laksamana Tadashi Maeda telah menyampaikan kepada Ahmad Subardjo (sebagai salah
satu pekerja di kantor Laksamana Maeda) bahwa ia menjamin keselamatan mereka
selama berada di rumahnya.
Suasana
rapat Perumusan Kemerdekaan Indonesia
Sebelum mereka memulai merumuskan
naskah proklamasi, terlebih dahulu Sukarno dan Hatta menemui Somubuco (Kepala
Pemerintahan Umum) Mayor Jenderal Nishimura, untuk menjajagi sikapnya mengenai
Proklamasi Kemerdekaan. Mereka ditemani oleh Laksamana Maeda, Shigetada Nishijima
dan Tomegoro Yoshizumi serta Miyoshi sebagai penterjemah. Pertemuan itu tidak
mencapai kata sepakat. Nishimura menegaskan bahwa garis kebijakan Panglima
Tentara Keenambelas di Jawa adalah “dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu
berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi merubah status
quo (status politik Indonesia).
Sejak tengah hari sebelumnya tentara
Jepang semata-mata sudah merupakan alat Sekutu dan diharuskan tunduk kepada
sekutu”. Berdasarkan garis kebijakan itu Nishimura melarang Sukarno-Hatta untuk
mengadakan rapat PPKI dalam rangka proklamasi kemerdekaan.
Sampailah Sukarno-Hatta pada
kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi membicarakan kemerdekaan Indonesia
dengan pihak Jepang. Akhirnya mereka hanya mengharapkan pihak Jepang tidak
menghalang-halangi pelaksanaan proklamasi yang akan dilaksanakan oleh rakyat
Indonesia sendiri.
Maka mereka kembali ke rumah
Laksamana Maeda. Sebagai tuan rumah Maeda mengundurkan diri ke lantai dua.
Sedangkan di ruang makan, naskah proklamasi dirumuskan oleh tiga tokoh golongan
tua, yaitu : Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Subardjo. Peristiwa ini
disaksikan oleh Miyoshi sebagai orang kepercayaan Nishimura, bersama dengan
tiga orang tokoh pemuda lainnya, yaitu : Sukarni, Mbah Diro dan B.M. Diah.
Sementara itu tokoh-tokoh lainnya, baik dari golongan muda maupun golongan tua
menunggu di serambi muka.
C. Teks
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Ir. Sukarno yang menuliskan konsep
naskah proklamasi, sedangkan Drs. Moh. Hatta dan Mr Ahmad Subardjo menyumbangkan
pikiran secara lisan. Kalimat pertama dari naskah proklamasi merupakan saran
dari Mr. Ahmad Subardjo yang diambil dari rumusan BPUPKI. Sedangkan kalimat
terakhir merupakan sumbangan pikiran dari Drs. Moh. Hatta. Hal itu disebabkan
menurut beliau perlu adanya tambahan pernyataan pengalihan kekuasaan (transfer
of sovereignty). Sehingga naskah proklamasi yang dihasilkan adalah sebagai
berikut :
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini
menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-2 jang mengenai pemindahan
kekoeasaan d.l.l., diselengarakan dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang
sesingkat-singkatnja
Djakarta, 17 – 8 –‘05
Wakil-2 bangsa Indonesia,
Pada pukul 04.30 waktu Jawa konsep
naskah proklamasi selesai disusun. Selanjutnya mereka menuju ke serambi muka
menemui para hadirin yang menunggu. Ir. Sukarno memulai membuka pertemuan
dengan membacakan naskah proklamasi yang masih merupakan konsep tersebut. Ir.
Sukarno meminta kepada semua hadirin untuk menandatangani naskah proklamasi
selaku wakil-wakil bangsa Indonesia.
Pendapat itu diperkuat oleh Moh.
Hatta dengan mengambil contoh naskah “Declaration of Independence” dari Amerika
Serikat. Usulan tersebut ditentang oleh tokoh-tokoh pemuda. Karena mereka
beranggapan bahwa sebagian tokoh-tokoh tua yang hadir adalah “budak-budak”
Jepang. Selanjutnya Sukarni, salah satu tokoh golongan muda, mengusulkan agar
yang menandatangani naskah proklamasi cukup Sukarno-Hatta atas nama bangsa
Indonesia.
Setelah usulan Sukarni itu
disetujui, maka Ir. Sukarno meminta kepada Sajuti Melik untuk mengetik naskah
tulisan tangan Sukarno tersebut, dengan disertai perubahan-perubahan yang telah
disepakati. Ada tiga perubahan yang terdapat pada naskah ketikan Sajuti Melik,
yaitu : kata “tempoh” diganti “tempo”, sedangkan kata “wakil-wakil bangsa
Indonesia” diganti dengan “Atas nama bangsa Indonesia”. Perubahan juga
dilakukan dalam cara menuliskan tanggal, yaitu “Djakarta, 17-8-05” menjadi
“Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05”. Sehingga naskah proklamasi ketikan
Sajuti Melik itu, adalah sebagai berikut :
Teks
Proklamasi
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini
menjatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan
kekoeasaan d.l.l., diselengarakan dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang
sesingkat-singkatnja
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen
‘05
Atas nama bangsa Indonesia,
Soekarno/Hatta
Selanjutnya timbul persoalan
dimanakah proklamasi akan diselenggarakan. Sukarni mengusulkan bahwa Lapangan
Ikada (sekarang bagian tenggara lapangan Monumen Nasional) telah dipersiapkan
bagi berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk mendengar pembacaan naskah
Proklamasi. Namun Ir. Sukarno menganggap lapangan Ikada adalah salah satu
lapangan umum yang dapat menimbulkan bentrokan antara rakyat dengan pihak
militer Jepang. Oleh karena itu Bung Karno mengusulkan agar upacara proklamasi
dilaksanakan di rumahnya, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 dan disetujui oleh
para hadirin.
D. Detik-detik
kemerdekaan Indonesia
Perundingan antara golongan muda dan
golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung
pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di
laksamana Tadashi Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu
adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks
proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah,
Sayuti Melik, Sukarni, dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang
menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas
nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik.
Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan
Timur 56 telah
hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi
oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah
Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan
sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu
dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Detik-detik pembacaan Teks
Proklamasi
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan
alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab
itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang
pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah
Putih), yang
dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah
bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[5]. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di
Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung,
kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka
tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut
Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta
memberikan amanat singkat kepada mereka.
Pada tanggal 18 Agustus 1945,
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan
dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik
Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan
Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat
yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan
dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta
terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai
presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil
presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.