DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A.
Latar Belakang ...................................................................................... 1
B.
Tujuan Penulisan
.................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 2
A.
Perwalian dalam pernikahan ............................................................. .... 2
1.
Pengertian Wali
dalam Pernikahan ............................................ .... 2
2.
Kedudukan Wali
sebagai salah satu Rukun Nikah ................... .... 2
3.
Syarat syarat
Wali ..................................................................... .... 3
4.
Macam Macam
Wali .................................................................. .... 4
B.
Persaksian Dalam Akad Nikah ......................................................... .... 5
1.
Pengertian
Saksi dalam Akad Nikah ......................................... .... 5
2.
Kedudukan Saksi ...................................................................... .... 6
3.
Syarat-Syarat Saksi
................................................................... .... 6
C.
Ijab Kabul................................................................................................ 7
1.
Pengertian Ijab
Kabul ..................................................................... 7
2.
Syarat Ijab Qabul
............................................................................ 7
D.
Mahar................................................................................................. .... 8
1.
Pengertian Mahar
............................................................................ 8
2.
Hukum Mahar ................................................................................. 8
3.
Macam-Macam Mahar
.................................................................... 9
E.
Walimah............................................................................................. .. 10
1.
Pengertian Walimah
...................................................................... 10
2.
Hukum Mengadakan Walimah ..................................................... 10
BAB III PENUTUP ................................................................................................. 11
A.
Kesimpulan .......................................................................................... 11
B.
Saran ................................................................................................. .. 11
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sebagai
umat Islam yang bertaqwa kita tidak akan terlepas dari syari’at Islam. Hukum
yang harus di patuhi oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Baik
laki-laki maupun perempuan tidak ada perbedaan di mata Allah SWT, tetapi yang
membedakan hanyalah ketaqwaan kita.
Salah satu
dari syari’at Islam adalah tentang perkawinan
hal ini sudah di atur dalam hukum Islam, baik dalam al-Qur’an maupun
dalam Hadits Rasulullah SAW. Perkawinan merupakan peristiwa yang sering kita
jumpai dalam hidup ini, bahkan setiap hari banyak umat Islam yang melakukan
perkawinan, dimana perkawinan ini mencegak perbuatan yang melanggar norma –
norma agama dan menghindari jinah.
Terpenuhinya
syarat rukun perkawinan mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut
baik menurut hukum agama, fiqih munakahat, dan pemerintah (kompilasi hukum
islam). Bila salah satu syarat rukun tersebut tidak terpenuhi maka
mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fiqih munakahat atau hukum islam.
B.
TUJUAN PENULISAN
Ø Mengetahui hukum nikah
Ø Memahami rukun – rukun nikah
Ø Mengetahui pernikahan yang dilarang
islam
Ø Memahami hikmah pernikahan
Ø Mengetahui syarat-syarat nikah
BAB I
PEMBAHSAN
A.
PERWALIAN
DALAM PERNIKAHAN
1.
Pengertian
Wali dalam Pernikahan
Kata
“wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al Wali dengan bentuk
jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut
istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama,
adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa;
pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang
melakukan akad nikah dengan pengantin pria.Wali dalam nikah adalah yang padanya
terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).
Dari
beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam
pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai
wanita, karena wali merupakan rukun nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa
wali dinyatakan batal.
2.
Kedudukan
Wali sebagai salah satu Rukun Nikah
Wali
adalah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak sah nikah
tanpa wali laki-laki. Dalam KHI pasal 19 menyatakan wali nikah dalam perkawinan
merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak
untuk menikahkannya.
Namun para
ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan. Berikut ini
akan diuraikan beberapa pendapat para ulama mengenai kedudukan wali dalam
pernikahan, yaitu:
a.
Jumhur
ulama, Imam Syafi’I dan Imam Malik
Mereka
berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan dan tak ada
perkawinan kalau tak ada wali. Oleh sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa
wali hukumnya tidak sah (batal).
Selain itu
mereka berpendapat perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan, sedangkan wanita
biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu ia tidak pandai memilih
, sehingga tidak dapat memperoleh tujuan –tujuan utama dalam hal perkawinan
ini. Hal ini mengakibatkan ia tidak diperbolehkan mengurus langsung aqadnya
tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini
benar-benar tercapai dengan sempurna.
b.
Imam
Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi)
Mereka
berpendapat bahwa jika wanita itu telah baligh dan berakal, maka ia mempunyai
hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Selain itu Abu Hanifah
melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah. Beliau menganalogikan
dimana kalau wanita sudah dewasa, berakal dan cerdas mereka bebas bertasarruf
dalam hukum-hukum mu’amalat menurut syara’, maka dalam akad nikah mereka lebih
berhak lagi, karena nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung.
Khususnya kepada wanita (janda) diberikan hak sepenuhnya mengenai urusan
dirinya dan meniadakan campur tangan orang lain dalam urusan pernikahannya.
Menurut
beliau juga, walaupun wali bukan syarat sah nikah, tetapi apabila wanita
melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu dengannnya, maka wali
mempunyai hak I’tiradh (mencegah perkawinan).
3.
Syarat
syarat Wali
Wali dalam
pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa
adanya wali. Oleh karena itu maka seorang wali haruslah memenuhi syarat-syarat
sebagai wali. Syarat-syarat tersebut adalah :
a)
Islam
( orang kafir tidak sah menjadi wali)
b)
Baligh
(anak-anak tidak sah menjadi wali)
c)
Berakal
(orang gila tidak sah menjadi wali)
d)
Laki-laki
(perempuan tidak sah menjadi wali)
Seorang
wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya
sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka
pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW yang artinya:
“Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda “wanita tidak boleh
mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya”(HR. Ibnu Majah
dan Daruquthni ).
e)
Adil
(orang fasik tidak sah menjadi wali)
Telah
dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat,
tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri
berbuat munkar, pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas.
Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan
akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai
dengan sabda Nabi SAW yang artinya: “Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW
bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang
adil”(HR.Ahmad Ibn Hanbal).
f)
Tidak
sedang ihram haji atau umrah.
Sayyid
Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah
sebagai berikut : Syarat-syarat wali ialah: merdeka, berakal sehat dan dewasa.
Budak, orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang
tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain.
Syarat kempat untuk menjadi wali ialah beragama Islam, jika yang dijadikan wali
tersebut orang Islam pula sebab yang bukan Islam tidak boleh menjadi walinya
orang Islam.
4.
Macam
Macam Wali
Wali dalam
pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
a.
Wali
Nasab
Wali nasab
adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak
menjadi wali. Wali nasab urutannya adalah sebagai berikut:
-
Bapak,
kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas
-
Saudara
laki-laki kandung (seibu sebapak)
-
Saudara
laki-laki sebapak
-
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki kandung
-
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
-
Paman
(saudara dari bapak) kandung
-
Paman
(saudara dari bapak) sebapak
-
Anak
laki-laki paman kandung
-
Anak
laki-laki paman sebapak.
Urutan
diatas harus dilaksanakan secara tertib.
b.
Wali
Hakim
Wali hakim
adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam
suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila :
-
Calon
mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
-
Walinya
mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
-
Wali
sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia
tidak ada.
-
Wali
berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang
membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
-
Wali
berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
-
Wali
sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
-
Anak
Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
-
Walinya
gila atau fasik.
Sesuai
dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri
Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.
c.
Wali
Muhakkam
Wali
muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk
bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat
sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu
fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan
laki-laki.
B. PERSAKSIAN DALAM AKAD NIKAH
1.
Pengertian
Saksi dalam Akad Nikah
Saksi
nikah adalah orang yang menyaksikan secara langsung akad pernikahan, yang
berfungsi memberitahukan kepada masyarakat luas perihal pernikahan tersebut
agar tidak timbul kesalahpahaman. Masalah saksi pernikahan dalam al-Qur’an
tidak tertera secara eksplisit, namun saksi untuk masalah lain seperti dalam
masalah pidana muamalah atau masalah cerai atau rujuk sangat jelas diutarakan.
2.
Kedudukan
Saksi
KHI
menyatakan dalam pasal 24 ayat 1, saksi dalam perkawinan merupakan rukun
pelaksanaan akad nikah. Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Malik
bersepakat bahwa saksi termasuk syarat dari beberapa syarat sahnya nikah.
Jumhur ulama berpendapat bahwa pernikahan tidak dilakukan kecuali dengan jelas
dalam pengucapan ijab dan qabul, dan tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan
saksi-saksi hadir langsung dalam pernikahan agar mengumumkan atau
memberitahukan kepada orang-orang.
Dalam KHI
pasal 26, saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
3.
Syarat
syarat Saksi
Dalam KHI
pasal 25, yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang
laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna
rungu atau tuli.
Adapun
berikut adalah beberapa syarat yang harus ada pada dua orang saksi,
antara lain:
a)
Islam
b)
Baligh
c)
Berakal
d) Laki-laki
e)
Adil.
f)
Tidak
tuna rungu atau tuli
Disini
para ulama berbeda pendapat mengenai syarat-syarat dua orang saksi, dari
kalangan jumhur seperti syafi’iyah dan hanabilah mensyaratkan dalam kesaksian
adalah dua orang laki-laki, berdasarkan hadis Nabi saw, yang artinya: tidak
diperbolehkan kesaksian seorang wanita dalam hukuman, pernikahan dan
perceraian.
Tetapi
Hanafiyah tidak mensyaratkan hal itu, dan berpendapat bahwa saksi adalah dua
orang laki-laki, atau dengan satu orang laki-laki dan dua orang wanita,
berdasarkan surat al Baqarah ayat 282, yang artinya :
“Persaksian dengan dua orang saksi
dari kaum lelaki di antaramu, jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai.”
Kemudian
Imam Hanafi berpendapat bahwa jika pernikahan dihadiri oleh dua saksi yang
fasik tidak apa-apa karena maksud saksi di sini adalah untuk pengumuman. Namun
Imam Syafi’i mempunyai pendapat bahwa saksi mengandung dua arti, yaitu
pengumuman dan penerimaan, jadi disyaratkan saksi yang adil.
C. IJAB KABUL
1.
Pengertian
Ijab Kabul
Ijab
kabul adalah ucapan dari orang
tua atau wali mempelai wanita
untuk menikahkan putrinya kepada sang calon mempelai pria. Orang
tua mempelai wanita melepaskan putrinya untuk dinikahi oleh seorang pria, dan
mempelai pria menerima mempelai wanita untuk dinikahi. Ijab kabul merupakan
ucapan sepakat antara kedua belah pihak.
Rukun yang
pokok dalam perkawinan adalah ridhanya laki-laki dan permpuan dan persetujuan
mereka untuk mengikat hidup berkeluarga. Karena perasaan ridha dan setuju
bersifat kejiwaan yang tak dapat dilihat, maka harus ada perlambang yang tegas
untuk menunjukkan kemauan mengadakan ikatan bersuami isteri. Perlambang
itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan aqad.
Pernyataan pertama menunjukkan kemauan untuk membentuk hubungan suami isteri
disebut "ijab." Dan pernyatan kedua yang dinyatakan oleh pihak yang
mengadakan aqad berikutnya untuk menyatakan rasa ridaha dan setujunya disebut
"Qabul."
2.
Syarat Ijab Qabul
Kedua
belah pihak sudah tamyiz (bisa membedakan benar dan salah). Bila salah
satu pihak ada yang gila atau masih kecil, maka pernikahan dinyatakan tidak
sah.
Ijab Qabulnya
dalam satu majelis. Yaitu ketika mengucapkan ijab qabul tidak boleh diselingi
dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan yang
menghalangi peristiwa ijab dan qabul.
Hendaknya
ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau lebih baik dari ucapan
ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuannya lebih tegas.
Misalnya, jika pengijab mengucapkan:"Aku kawinkan kamu dengan anak
perempuanku si Anu dengan mahar Rp.100,- lalu qabul menyambut:"Aku terima
nikahnya dengan Rp.200,- maka nikahnya sah, sebab qabulnya memuat hal yang
lebih baik (lebih tinggi nilainya) dari yang dinyatakan pengijab.
Pihak-pihak
yang melakukan aqad harus dapat mendengarkan pernyataan masing-masingnya dengan
kalimat yang maksudnya menyatakan terjadinya pelaksanaan aqad nikah, sekalipun
kata-katanya ada yang tidak dapat dipahami, karena yang dipertimbangkan di sini
ialah maksud dan niat, bukan mengerti setiap kata-kata yang dinyatakan dalam
ijab dan qabul.
D.
MAHAR
1.
Pengertian
Mahar
Pengertian
mahar secara etimologi berarti maskawin. Sedangkan pengertian mahar menurut
istilah ilmu fiqih adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon
isteri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih
bagi seorang isteri kepada calon suaminya dalam kaitannya dengan perkawinan.
2.
Hukum
Mahar
Berkata
Syaikh Abu Syujak : “Disunnahkan menyebut maskawin (mahar) dalam nikah. Jika
mahar tidak disebutkan akad tetap sah dan wajiblah maskawin yang seimbang
(mahrul-mitsli) dengan tiga hal, yaitu kalau hakim menentukan mahar misil,
atau suami istri menentukannya, atau sudah bersetubuh (dukhul) dengannya maka
wajiblah mahar misil”
.
وَآتُواْالنَّسَاءصَدُقَاتِهِنَّنِحْلَةً.
(النساء:٤)-
“Berilah perempuan yang
kamu kawini itu suatu pemberian (maskawin)”
Dari
sunnah ialah sabda Nabi s.a.w.:
إلتمس ولو خاتم من حديد.
“Carilah walau hanya sebentuk
cincin dari besi (yakni untuk maskawin)”.
Disunnahkan
hendaknya nikah itu tidak diakad melainkan dengan maskawin, karena mengikuti
jejak Rasulullah s.a.w., sebab beliau tidak mengadakan akad nikah melainkan
dengan sesuatu yang disebutkan (maskawin), dan karena dengan begitu lebih
menjauhkan perselisihan di belakang hari. Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin
Muhammad Alhusaini dalam kitab ‘Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh)’.
Imam
Syafi’I mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang
laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota tubuhnya.
Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya
sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.
3.
Macam-Macam
Mahar
Adapun
mengenai macam-macam mahar, ulama fikih sepakat bahwa mahar itu bisa dibedakan
menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a.
Mahar
yang Disebutkan (Musamma)
Mahar yang
disebutkan maksudnya mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik pada
saat akad maupun setelahnya seperti membatasi mahar bersama akad atau
penyelenggaraan akad tanpa menyebutkan mahar, kemudian setelah itu kedua belah
pihak mengadakan kesepakatan dengan syarat penyebutannya benar. Ulama
fikih bersepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma wajib diberikan
secara penuh apabila:
Ø Apabila telah senggama
Ø Apabila salah satu dari suami /
istri meninggal dunia
b.
Mahar tersembunyi dan mahar terbuka
Ada macam
mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak sebelum akad kemudian diumumkan
pada saat akad berbeda dengan mahar yang disepakati, baik dari segi ukuran
maupun jenisnya. Pada saat itu berarti sang istri dihadapkan pada dua
mahar; pertama, pertama mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak
sebelum akad dan mahar ini yang disebutkan mahar tersembunyi. Kedua,
mahar terubuka yang diumumkan dalam akad dihadapan orang banyak.
c.
Mahar
yang Sepadan (Mitsil)
Maksud
mahar mitsil adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa
menyebutkna mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita yang
seimbang ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan
sekandung, saudara perempuan tunggal bapak, dan seterusnya.
E.
WALIMAH
1.
Pengertian Walimah
Walimah
secara bahasa diartikan jamuan atau “ berkumpul “ yang khusus untuk
perkawinan saja. Walimah diadakan setelah ijab kabul terjadi. Sedangkan
secara istilah, “Walimah” adalah perayaan pesta yang diadakan dalam
kesempatan pernikahan.
Di dalam
Kitab Fathul Qarib disebutkan, walimah adalah makanan yang dibuat untuk upacara
perkawinan. Dikarenakan pernikahan menurut Islam adalah sebuah
kontrak yang serius dan juga momen yang sangat membahagiakan dalam
kehidupan seseorang, maka dianjurkan untuk mengadakan sebuah pesta perayaan
pernikahan dan membagi kebahagiaan itu. Dan pesta perayaan pernikahan itu juga
sebagai rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah Dia berikan
kepada kita. Disamping itu walimah juga memiliki fungsi lainnya yaitu
mengumumkan kepada khalayak ramai tentang pernikahan itu sendiri.
2.
Hukum Mengadakan Walimah
Semua
ulama sepakat tentang pentingnya pesta perayaan nikah, meskipun mereka berbeda
pendapat tentang hukumnya: beberapa ulama berpendapat hukum untuk mengadakan
walimah pernikahan adalah wajib sementara itu umumnya para ulama berpendapat
hukumnya adalah Sunah yang sangat dianjurkan.
Pasal 61 Tentang Hukum Walimah
Bahwa
hukum sedekah walimah atas pengantin adalah sunnah, dan hukum menepati undangan
walimah itu wajib ain, kecuali ada udzur, dan tidak wajib datang untuk makan
dari makanan walimah.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Nikah
merupakan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara laki – laki
dan seorang perempuan yang bertujuan untuik menghalalkan hubungan kelamin
antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga bahagian yang
diridhoi oleh Allah SWT. Nikah ditinjau dari segi kondisi orang yang akan
melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunah, wajib, makkruh
atau haram. Selain itu, banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan
antara lain sebagai kesempurnaan ibadah , membina ketentraman hidup,
menciptakan ketenangan batin, kelangsungan keturunan, terpelihara dari noda dan
lain – lain.
B.
SARAN
Semoga
dengan adanya makalah mengenai hukum nikah serta, perkawinan yang dilarang
islam serta orang – oarng yang haram dinikahi. Makalah ini jau dari sempurna,
maka dari itu saya mohon saran yang dapat meningkatkan dan membangun dalam
penyempurnaan makalah ini
0 komentar:
Posting Komentar