Jumat, 14 Maret 2014

Syarat dan Rukun Nikah




DAFTAR ISI


DAFTAR ISI.................................................................................................................. i
BAB I      PENDAHULUAN  ...................................................................................... 1
A.       Latar Belakang  ...................................................................................... 1
B.       Tujuan Penulisan  .................................................................................... 1

BAB II    PEMBAHASAN  ......................................................................................... 2
A.       Perwalian dalam pernikahan  ............................................................. .... 2
1.        Pengertian Wali dalam Pernikahan  ............................................ .... 2
2.        Kedudukan Wali sebagai salah satu Rukun Nikah  ................... .... 2
3.        Syarat syarat Wali  ..................................................................... .... 3
4.        Macam Macam Wali  .................................................................. .... 4
B.       Persaksian Dalam Akad Nikah  ......................................................... .... 5
1.        Pengertian Saksi dalam Akad Nikah  ......................................... .... 5
2.        Kedudukan Saksi  ...................................................................... .... 6
3.        Syarat-Syarat Saksi  ................................................................... .... 6
C.       Ijab Kabul................................................................................................ 7
1.        Pengertian Ijab Kabul  ..................................................................... 7
2.        Syarat Ijab Qabul  ............................................................................ 7
D.       Mahar................................................................................................. .... 8
1.        Pengertian Mahar  ............................................................................ 8
2.        Hukum Mahar  ................................................................................. 8
3.        Macam-Macam Mahar  .................................................................... 9
E.        Walimah............................................................................................. .. 10
1.        Pengertian Walimah  ...................................................................... 10
2.        Hukum Mengadakan Walimah  ..................................................... 10
BAB III   PENUTUP  ................................................................................................. 11
A.       Kesimpulan  .......................................................................................... 11
B.       Saran  ................................................................................................. .. 11



 


BAB I
PENDAHULUAN


A.      LATAR BELAKANG
Sebagai umat Islam yang bertaqwa kita tidak akan terlepas dari syari’at Islam. Hukum yang harus di patuhi oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Baik laki-laki maupun perempuan tidak ada perbedaan di mata Allah SWT, tetapi yang membedakan hanyalah ketaqwaan kita.
Salah satu dari syari’at Islam adalah tentang perkawinan  hal ini sudah di atur dalam hukum Islam, baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadits Rasulullah SAW. Perkawinan merupakan peristiwa yang sering kita jumpai dalam hidup ini, bahkan setiap hari banyak umat Islam yang melakukan perkawinan, dimana perkawinan ini mencegak perbuatan yang melanggar norma – norma agama dan menghindari jinah.
Terpenuhinya syarat rukun perkawinan mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut hukum agama, fiqih munakahat, dan pemerintah (kompilasi hukum islam). Bila salah satu syarat rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fiqih munakahat atau hukum islam.

B.        TUJUAN PENULISAN
Ø  Mengetahui hukum nikah
Ø  Memahami rukun – rukun nikah
Ø  Mengetahui pernikahan yang dilarang islam
Ø  Memahami hikmah pernikahan
Ø  Mengetahui syarat-syarat nikah






BAB I
PEMBAHSAN


A.      PERWALIAN DALAM PERNIKAHAN
1.         Pengertian Wali dalam Pernikahan
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria.Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan rukun nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan batal.
2.         Kedudukan Wali sebagai salah satu Rukun Nikah
Wali adalah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak sah nikah tanpa wali laki-laki. Dalam KHI pasal 19 menyatakan wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan. Berikut ini akan diuraikan beberapa pendapat para ulama mengenai kedudukan wali dalam pernikahan, yaitu:
a.         Jumhur ulama, Imam Syafi’I dan Imam Malik
Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada wali. Oleh sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal).
Selain itu mereka berpendapat perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan, sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu ia tidak pandai memilih , sehingga tidak dapat memperoleh tujuan –tujuan utama dalam hal perkawinan ini. Hal ini mengakibatkan ia tidak diperbolehkan mengurus langsung aqadnya tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini benar-benar tercapai dengan sempurna.
b.        Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi)
Mereka berpendapat bahwa jika wanita itu telah baligh dan berakal, maka ia mempunyai hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah. Beliau menganalogikan dimana kalau wanita sudah dewasa, berakal dan cerdas mereka bebas bertasarruf dalam hukum-hukum mu’amalat menurut syara’, maka dalam akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung. Khususnya kepada wanita (janda) diberikan hak sepenuhnya mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur tangan orang lain dalam urusan pernikahannya.
Menurut beliau juga, walaupun wali bukan syarat sah nikah, tetapi apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu dengannnya, maka wali mempunyai hak I’tiradh (mencegah perkawinan).
3.         Syarat syarat Wali
Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu maka seorang wali haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Syarat-syarat tersebut adalah :
a)        Islam ( orang kafir tidak sah menjadi wali)
b)        Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali)
c)        Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali)
d)       Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali)
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW yang artinya: “Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda “wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya”(HR. Ibnu Majah dan Daruquthni ).
e)        Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar, pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW yang artinya: “Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”(HR.Ahmad Ibn Hanbal).
f)         Tidak sedang ihram haji atau umrah.
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah sebagai berikut : Syarat-syarat wali ialah: merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain. Syarat kempat untuk menjadi wali ialah beragama Islam, jika yang dijadikan wali tersebut orang Islam pula sebab yang bukan Islam tidak boleh menjadi walinya orang Islam.
4.         Macam Macam Wali
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
a.         Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali. Wali nasab urutannya adalah sebagai berikut:
-            Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas
-            Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak)
-            Saudara laki-laki sebapak
-            Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
-            Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
-            Paman (saudara dari bapak) kandung
-            Paman (saudara dari bapak) sebapak
-            Anak laki-laki paman kandung
-            Anak laki-laki paman sebapak.
Urutan diatas harus dilaksanakan secara tertib.
b.        Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila :
-            Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
-            Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
-            Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.
-            Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
-            Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
-            Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
-            Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
-            Walinya gila atau fasik.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.
c.         Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.

B.       PERSAKSIAN DALAM AKAD NIKAH
1.         Pengertian Saksi dalam Akad Nikah
Saksi nikah adalah orang yang menyaksikan secara langsung akad pernikahan, yang berfungsi memberitahukan kepada masyarakat luas perihal pernikahan tersebut agar tidak timbul kesalahpahaman. Masalah saksi pernikahan dalam al-Qur’an tidak tertera secara eksplisit, namun saksi untuk masalah lain seperti dalam masalah pidana muamalah atau masalah cerai atau rujuk sangat jelas diutarakan.
2.         Kedudukan Saksi
KHI menyatakan dalam pasal 24 ayat 1, saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Malik bersepakat bahwa saksi termasuk syarat dari beberapa syarat sahnya nikah. Jumhur ulama berpendapat bahwa pernikahan tidak dilakukan kecuali dengan jelas dalam pengucapan ijab dan qabul, dan tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan saksi-saksi hadir langsung dalam pernikahan agar mengumumkan atau memberitahukan kepada orang-orang.
Dalam KHI pasal 26, saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
3.         Syarat syarat Saksi
Dalam KHI pasal 25, yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.
Adapun berikut adalah beberapa syarat  yang harus ada pada dua orang saksi, antara lain:
a)        Islam
b)        Baligh
c)        Berakal
d)       Laki-laki
e)        Adil.
f)         Tidak tuna rungu atau tuli
Disini para ulama berbeda pendapat mengenai syarat-syarat dua orang saksi, dari kalangan jumhur seperti syafi’iyah dan hanabilah mensyaratkan dalam kesaksian adalah dua orang laki-laki, berdasarkan hadis Nabi saw, yang artinya: tidak diperbolehkan kesaksian seorang wanita dalam hukuman, pernikahan dan perceraian.
Tetapi Hanafiyah tidak mensyaratkan hal itu, dan berpendapat bahwa saksi adalah dua orang laki-laki, atau dengan satu orang laki-laki dan dua orang wanita, berdasarkan surat al Baqarah ayat 282, yang artinya :
“Persaksian dengan dua orang saksi dari kaum lelaki di antaramu, jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai.”

Kemudian Imam Hanafi berpendapat bahwa jika pernikahan dihadiri oleh dua saksi yang fasik tidak apa-apa karena maksud saksi di sini adalah untuk pengumuman. Namun Imam Syafi’i mempunyai pendapat bahwa saksi mengandung dua arti, yaitu pengumuman dan penerimaan, jadi disyaratkan saksi yang adil.

C.      IJAB KABUL
1.         Pengertian Ijab Kabul
Ijab kabul adalah ucapan dari orang tua atau wali mempelai wanita  untuk menikahkan putrinya kepada sang calon mempelai pria. Orang tua mempelai wanita melepaskan putrinya untuk dinikahi oleh seorang pria, dan mempelai pria menerima mempelai wanita untuk dinikahi. Ijab kabul merupakan ucapan sepakat antara kedua belah pihak.
Rukun yang pokok dalam perkawinan adalah ridhanya laki-laki dan permpuan dan persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga. Karena perasaan ridha dan setuju bersifat kejiwaan yang tak dapat dilihat, maka harus ada perlambang yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan ikatan bersuami isteri.  Perlambang itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan aqad. Pernyataan pertama menunjukkan kemauan untuk membentuk hubungan suami isteri disebut "ijab." Dan pernyatan kedua yang dinyatakan oleh pihak yang mengadakan aqad berikutnya untuk menyatakan rasa ridaha dan setujunya disebut "Qabul."
2.         Syarat Ijab Qabul
Kedua belah pihak sudah tamyiz (bisa membedakan  benar dan salah). Bila salah satu pihak ada yang gila atau masih kecil, maka pernikahan dinyatakan tidak sah.
Ijab Qabulnya dalam satu majelis. Yaitu ketika mengucapkan ijab qabul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab dan qabul. 
Hendaknya ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuannya lebih tegas. Misalnya, jika pengijab mengucapkan:"Aku kawinkan kamu dengan anak perempuanku si Anu dengan mahar Rp.100,- lalu qabul menyambut:"Aku terima nikahnya dengan Rp.200,- maka nikahnya sah, sebab qabulnya memuat hal yang lebih baik (lebih tinggi nilainya) dari yang dinyatakan pengijab.
Pihak-pihak yang melakukan aqad harus dapat mendengarkan pernyataan masing-masingnya dengan kalimat yang maksudnya menyatakan terjadinya pelaksanaan aqad nikah, sekalipun kata-katanya ada yang tidak dapat dipahami, karena yang dipertimbangkan di sini ialah maksud dan niat, bukan mengerti setiap kata-kata yang dinyatakan dalam ijab dan qabul.


D.      MAHAR
1.         Pengertian Mahar
Pengertian mahar secara etimologi berarti maskawin. Sedangkan pengertian mahar menurut istilah ilmu fiqih adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya dalam kaitannya dengan perkawinan.
2.        Hukum Mahar
Berkata Syaikh Abu Syujak : “Disunnahkan menyebut maskawin (mahar) dalam nikah. Jika mahar tidak disebutkan akad tetap sah dan wajiblah maskawin yang seimbang (mahrul-mitsli) dengan tiga hal, yaitu kalau hakim menentukan mahar misil, atau suami istri menentukannya, atau sudah bersetubuh (dukhul) dengannya maka wajiblah mahar misil
.
وَآتُواْالنَّسَاءصَدُقَاتِهِنَّنِحْلَةً. (النساء:٤)-
Berilah perempuan yang kamu kawini itu suatu pemberian (maskawin)
Dari sunnah ialah sabda Nabi s.a.w.:
إلتمس ولو خاتم من حديد.
Carilah walau hanya sebentuk cincin dari besi (yakni untuk maskawin)”.
Disunnahkan hendaknya nikah itu tidak diakad melainkan dengan maskawin, karena mengikuti jejak Rasulullah s.a.w., sebab beliau tidak mengadakan akad nikah melainkan dengan sesuatu yang disebutkan (maskawin), dan karena dengan begitu lebih menjauhkan perselisihan di belakang hari. Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Alhusaini dalam kitab ‘Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh)’.
Imam Syafi’I mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota tubuhnya. Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.
3.        Macam-Macam Mahar
Adapun mengenai macam-macam mahar, ulama fikih sepakat bahwa mahar itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a.         Mahar yang Disebutkan (Musamma)
Mahar yang disebutkan maksudnya mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik pada saat akad maupun setelahnya seperti membatasi mahar bersama akad atau penyelenggaraan akad tanpa menyebutkan mahar, kemudian setelah itu kedua belah pihak mengadakan kesepakatan dengan syarat penyebutannya benar.  Ulama fikih bersepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma wajib diberikan secara penuh apabila:
Ø  Apabila telah senggama
Ø  Apabila salah satu dari suami / istri meninggal dunia
b.        Mahar tersembunyi dan mahar terbuka
Ada macam mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak sebelum akad kemudian diumumkan pada saat akad berbeda dengan mahar yang disepakati, baik dari segi ukuran maupun jenisnya.  Pada saat itu berarti sang istri dihadapkan pada dua mahar; pertama, pertama mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak sebelum akad dan mahar ini yang disebutkan mahar tersembunyi.  Kedua, mahar terubuka yang diumumkan dalam akad dihadapan orang banyak.

c.         Mahar yang Sepadan (Mitsil)
Maksud mahar mitsil adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa menyebutkna mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita yang seimbang ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung, saudara perempuan tunggal bapak, dan seterusnya.

E.       WALIMAH
1.         Pengertian Walimah
Walimah secara bahasa diartikan jamuan atau “ berkumpul “  yang khusus untuk perkawinan saja. Walimah diadakan setelah  ijab kabul terjadi. Sedangkan secara istilah, “Walimah” adalah  perayaan  pesta yang diadakan dalam kesempatan  pernikahan.         
Di dalam Kitab Fathul Qarib disebutkan, walimah adalah makanan yang dibuat untuk upacara perkawinan. Dikarenakan pernikahan menurut Islam  adalah  sebuah  kontrak yang serius dan juga momen yang sangat membahagiakan dalam kehidupan seseorang, maka dianjurkan untuk mengadakan sebuah pesta perayaan pernikahan dan membagi kebahagiaan itu. Dan pesta perayaan pernikahan itu juga sebagai rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah Dia berikan kepada kita. Disamping itu walimah juga memiliki fungsi lainnya yaitu mengumumkan kepada khalayak ramai tentang pernikahan itu sendiri.
2.         Hukum Mengadakan Walimah
Semua ulama sepakat tentang pentingnya pesta perayaan nikah, meskipun mereka berbeda pendapat tentang hukumnya: beberapa ulama berpendapat hukum untuk mengadakan walimah pernikahan adalah wajib sementara itu umumnya para ulama berpendapat hukumnya adalah Sunah yang sangat dianjurkan.
Pasal 61 Tentang Hukum Walimah
Bahwa hukum sedekah walimah atas pengantin adalah sunnah, dan hukum menepati undangan walimah itu wajib ain, kecuali ada udzur, dan tidak wajib datang untuk makan dari makanan walimah.

BAB III
PENUTUP


A.      KESIMPULAN
Nikah merupakan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara laki – laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuik menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga bahagian yang diridhoi oleh Allah SWT. Nikah ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunah, wajib, makkruh atau haram. Selain itu, banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan antara lain sebagai kesempurnaan ibadah , membina ketentraman hidup, menciptakan ketenangan batin, kelangsungan keturunan, terpelihara dari noda dan lain – lain.

B.        SARAN
Semoga dengan adanya makalah mengenai hukum nikah serta, perkawinan yang dilarang islam serta orang – oarng yang haram dinikahi. Makalah ini jau dari sempurna, maka dari itu saya mohon saran yang dapat meningkatkan dan membangun dalam penyempurnaan makalah ini

0 komentar:

Posting Komentar