ISTISLAH
TUGAS
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa
Indonesia pada Jurusan Ekonomi Syari’ah
Oleh:
(140602274)
FAKULTAS
SYARI’AH
DAN PERBANKAN ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM,
BANDA ACEH
2014/2015
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Dzat yang menegakkan langit, membentangkan bumi, dan mengurusi
seluruh makhluk. Dzat yang mengutus rasulullah saw. Sebagai pembawa petunjuk dan menjelaskan syariat agama
kepada setiap mukallaf secara jelas
dan terang.
Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw. hamba dan utusan nya
yang tercinta, sosok yang paling utama diantara seluruh makhluk. Beliau
dimuliakan dengan Al-Quran yang merupakan mukjizat serta sunnah yang menjadi pembimbing bagi umat
manusia. Rahmat dan keselamatan Allah semoga selalu dilimpahkan kepada seluruh
nabi dan rasul, kepada keluarga, dan para shalihan.
Terima kasih kami ucapkan kepada bapak pembimbing yang telah membimbing
serta mengajarkan kami, dan
mendukung kami sehingga terselesaikan makalah yang berjudul “Istislah” dan juga terima kasih yang sebesar – besarnya kami ucapkan
kepada semua pihak yang telah membantu kami sehingga terselesaikan makalah ini.
Seperti kata pepatah “Tiada gading yang tak retak”, demikian
pula dengan makalah ini, tentu masih banyak kekurangan. kami menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan
kekhilafan, maka dengan hal itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak sehingga ke
depan dapat menjadi koreksi untuk kemajuan dan lebih baik demi
penyempurnaan makalah ini.
Banda Aceh, 07 Desember 2014
Penulis
DAFTARISI
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... ....... 1
1.
Latar
Belakang................................................................................ 1
2.
Rumusan Masalah................................................................... ....... 1
3.
Tujuan Penulisan..................................................................... ....... 1
BABII PEMBAHASAN.................................................................................... 2
1.
Pengertian
Istislah........................................................................... 2
2.
Kehujjahan
Istislah.................................................................. ...... 3
3.
Alasan
para ulama yang menerima Istislah
sebagai
dalil syara’.................................................................. ...... 6
4.
Alasan
para ulama yang menolak Istislah
5.
sebagai
dalil syara’.................................................................. ...... 6
6.
Ruang
lingkup permasalahan Mashlahah Mursalah................. ...... 6
7.
Macam-macam
Istislah............................................................ ...... 7
a.
Mashlahah yang diakui ajaran
syari’ah................................... 7
b.
Mashlahal yang tidak diakui
syari’ah....................................... 8
c.
Mashlahal yang tidak terikat pada
jenis
pertama
dan jenis kedua.................................................... ....... 8
BABIII PENUTUP..................................................................................... 10
1.
Kesimpulan................................................................................... 10
2.
Saran............................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 11
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Sebagian dari ulama kaum muslimin
berpendapat bahwasannya mashlahah al-mursalah yang tidak ada bukti syar’i yang
membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya maupun pembatalannya, tidak bisa
dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum. Mereka berdalil ada dua hal yang
menyebabkan kekaburan Istislah ini, yaitu : Pertama, Bahwasannya
syari’at telah memlihara segala kemaslahatan manusia dengan nash-nashnya dan
dengan petunjuknya berupa Qiyas.
Kedua, Bahwasannya pembentukan
hukum atas dasar kemutlakan kemaslahatn berarti membuka pintu untuk hawa nafsu
orang yang menurutinya, baik dari kalangan penguasa, amir, dan para mufti. Oleh
karena itu dalam makalah ini pemakalah akan memaparkan dan menjelaskannya
secara mendetail dan mejurus hal ihwal yang membahas tentang Istislah.
2.
Rumusan Masalah
a.
Apa yang
dimaksud dengan Istislah?
b.
Bagaimana hujjah
Ulama tentang Istislah?
c.
Apa-apa saja
macam-macam Istislah?
3.
Tujuan Penulisan
a.
Menambah wawasan
ilmu pengetahuan kita
b.
Menyelesaikan
tugas mata kuliah yang telah diberikan oleh Dosen
c.
Memahami
Istislah lebih mendalam
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Istislah
Istislah menurut bahasa berarti “Mencari
kemaslahatan”. Sedangkan menurut ahli Usul fiqh adalah menetapkan hukum suatu
masalah yang tidak ada nasnya atau tidak ada ijma’ terhadapnya, dengan
berdasarkan pada kemaslahatan semata (yang oleh syara’ tidak dijelaskan ataupun
dilarang). . Pengertian yang lain menyatakan Istislah adalah logika yang baik
tentu baik untuk dipergunakan. Jadi apabila dikatakan bahwa perdagangan itu
suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut
berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat
lahir dan batin.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa
menurut asalnya masalah itu berarti sesuatu yang mendatangkan keuntungan
(manfaat) dan menjauhkan madharat (kesusahan). “Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum)”.
Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu
kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan
tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan
kepada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu.
Misalnya, di zaman jahiliyah wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yang
menurut mereka sesuai dengan adat-istiadat mereka, tetapi pandangan ini tidak
sejalan dengan kehendak syara’, karenanya tidak dinamakan mashlahah.
Tujuan syara’ yang harus dipelihara
lanjut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu : terpeliharanya agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang pada intinya
untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ diatas maka dinamakan mashlahah.
Al-Khawarizmi menyatakan : “Memelihara tujuan
syara’ (dalam menetapkan hukum ) dengan cara menghindarkan kesusahan dari
manusia.”
Dari uraian diatas dapat kita mengerti
bahwa tujuan dari hukum Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan umat manusia
dunia maupun akhirat. Kemaslahatan ini merupakan lima tujuan syara’ yaitu :
terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Disampig itu, juga
segala upaya untuk mencegah segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan
kelima aspek tujuan syara’ tersebut juga dinamakan mashlahah.
2.
Kehujjahan
Istislah.
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa untuk
menjadikan mashlahah al-mursalahsebagai dalil disyaratkan mashlahah tersebut
berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadist, atau ijma’ yang menunjukkan
bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi
hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi
hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi sebagai hukum. Misal,
sifat yang berpengaruh pada hukum tersebut adalah, Rasullah pernah ditanya
tentang status sisa makanan kucing, apakah termasuk najis atau tidak. Dalam
sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Malik dari Abi Qatadah dinyatakan :
“Bahwa Rasullah saw.
Bersabda tentang kucing; bahwa kucing itu bukan najis, karena sesungguhnya
kucing itu termasuk binatang rumah yang senantiasa mengelilingi kamu, tidak
(menjadi najis) bagi kamu”.
Keberadaan kucing yang senantiasa berada
di rumah merupakan sifat yang membuat mereka bersih atau suci. Sifat yang
menjadi motivasi hukum dalam hadist ini jelas, yaitu Thawwaf (hewan yang
senantiasa berada di rumah, tidur di rumah dan sulit memisahkannya).
Berdasarkan sifat ini maka hukum sisa makanan kucing itu tidak najis (suci).
Oleh sebab itu, thawwaf merupakan motivasi dari hukum thaharah (suci) untuk
menghindari kesulitan dari orang-orang yang memelihara kucing di rumahnya.
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima
mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka
dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut
mereka mashlahah al-mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash,
bukan dari nash yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam
Syathibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas mashlahah al-mursalah itu
bersifat pasti (qath’i), sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat
zhanni(relatif).
Untuk bisa menjadikan mashlahah
al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyah dan Hanabilah
mensyaratkan tiga syarat, yaitu :
a) Kemaslahatan
itu haruslah merupakan suatu kemaslahatn yang hakiki,dan bukan suatu
kemaslahatan yang bersifat dugaan saja. Yang dimaksud persyaratan ini ialah
membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus mendatangkan kemanfaatan
dan menolak kemudaratan.
b) Bahwa
kemaslahatan ini adalah kemaslahatan umum, dan bukan kemaslahatan pribadi. Yang
dimaksud dengan persyaratan ini ialah untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum
pada suatu kasus adalah mendatangkan manfaat bagi mayoritas ummat manusia, atau
menolak bahaya dari mereka, dan bukan untuk kemaslahatan individu atau sejumlah
perseorangan yang merupakan minoritas ummat manusia.
c) Bahwa
pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini tidak bertentangan dengan hukum
atau prinsip yang telah berdasarkan nash atau ijma’. Oleh karena itu, tidak
syah mengakui kemaslahatan yang menurut perasaan antara anak laki-laki dan anak
perempuan dalam kegiatan warisan, karena kemaslahatan ini dibatalkan, karena
bertentangan dengan nash Al-Qur’an.
Ulama golongan Syafi’iyah, pada
dasarnya, juga menjadikan mashlahah sebagai salah satu dalil syara’. Akan
tetapi, Imam Syafi’i, memasukannya kedalam qiyas. Misalnya,ia meng-qiyas-kan
hukuman bagi peminum minuman keras kepada hukuman orang yang menuduh zina,
yaitu dera sebanyak 80 kali, karena orang mabuk akan mengigau dan dalam
pengigauannya diduga keras akan menuduh orang lain berbuat zina. Al-Ghazali,
bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqhnya membahas permasalahan
mashlahah al-mursalah. Ada beberapa syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap
kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu :
o Mashalahah
itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan Syara’
o Mashlahah
itu tidak meninggalkan atau beetentangan dengan nash syara’
o Mashlahah
itu termasuk kedalam kategori mashlahah yang dharuri, baik menyangkut
kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu
berlaku sama untuk semua orang.
Untuk yang terakhir ini al-Ghazali juga
mengatakan bahwa yang hajjiyah, apabila menyangkut kemaslahatan orang banyak
bisa menjadi dharuriyyah.
Jumhur
ulama uamat Islam berpendapat, bahwasannya mashlahah al-mursalahadalah hujjah
syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadiaan
yang tidak ada hukumnya dalam nash, atau ijma, atau qiyas, ataupun
istihsan,disyariatkan padanya hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum.
Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan
mashlahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah :
a)
Hasil induksi terhadap ayat
atau hadist menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat
manusia. Dalam hubungan ini Allah berfirman :
“Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk
menjadi rahmat bagi seluruh manusia.” (Q.S. al-Anbiya’, 21 :
107).
Menurut Jumhur Ulama,
Rasulullah itu tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi
kemaslahatan umat manusia. Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan
Sunnah Rasullah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan umat
manusia, di dunia dan di akhirat.
b)
Bahwasannya
kemaslahatan umat manusia selalu baru dan tidak ada habis-habisnya. Maka
sekiranya hukum tidak disyariatkan untuk mengantisipasi kemaslahatan umat
manusia yang terus bermunculan dan apa yang dituntut oleh perkembangan mereka,
serta pembentukan hukum hanya berkisar pada berbagai kemaslahatan yang diakui
oleh Syar’i saja, niscaya akan banyak kemaslahatn manusia yang tertinggal di
berbagai tempat dan zaman, dan pembentukan hukum tidak mengikuti roda
perkembangan manusia dan kemaslahatan mereka.
c)
Bahwa pembentukan hukum
berdasarkan kemaslahatan ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang
telah berdasarkan nash atau ijma. Oleh karena itu tidak syah mengakui
kemaslahatan yang menuntut persamaan antara anak laki-laki dan anak perempuan
dalam bagian warisan, karena kemaslahatan ini dibatalkan, karena ia
bertentangan dengan nash Al-Qur’an.
d)
Jumhur ulama juga
beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar ibn
al-Khaththab tidak memberi bagian zakat kepada para mu’allaf(orang yang baru
masuk Islam), karena menurut Umar, kemaslahatan orang banyak menuntut untuk hal
itu. Abu Bakar mengumpulkan al-Qur’an atas saran Umar ibn al-Khaththab, sebagai
salah satu kemaslahatan untuk melestarikan al-Qur’an dan menuliskan al-Qur’an
pada satu logat bahasa di zaman Utsman ibn Affan demi memelihara tidak terjadi
perbedaan bacaan al-Qur’an itu sendiri.
3.
Alasan
para ulama yang menerima Istislah sebagai dalil syara’
Jumhur ulama menganggap Maslahah
Mursalah sebagai hujjah syar’iyah, sekalipun dengan nama yang berbeda-beda.
Adapun alasan para ulama yang menerima Istislah atau Maslahah Mursalah sebagai
dalil syar’i, di antaranya ialah:
a) Kemaslahatan
yang diharapkan manusia itu tumbuh dan bertambah. Sekiranya hukum tidak
menampung untuk menetapkan kemaslahatan manusia yang dapat diterima, berarti
kurang sempurna syari’at itu, atau bekulah syariat islam itu. Padahal nyatanya
tidaklah demikian.
b) Kalau
diamati benar-benar, para sahabat dan tabi’in beserta imam-imam mujtahid,
mereka telah menetapkan hukum-hukum dengan berdasarkan para kemaslahatan. Abu
Bakar Assidiq memerintahkan untuk menyusun mushaf yang tadinya belum terkumpul.
Demikian pula tindakannya menerangi orang yang ingkar dan enggan membayar
zakat.
4.
Alasan
ulama yang menolak Istislah sebagai dalil syara’
Ulama yang menolak Istislah sebagai
dalil syar’i antara lain imam Syafi’i. Beliau menolak Istislah, karena
disamakan dengan Istihsan. Alasan untuk menolak Istislah sama dengan alasan
untuk menolak Istihsan. Diantaranya ialah:
a) Syari’at
islam mempunyai tujuan menjaga tujuan kemaslahataan manusia. Sedangkan syara’
tidak membiarkan manusia dalam keadaan terlantar tanpa petunjuk. Petunjuk itu
harus berdasarkan pada ibarat nas. Kalau kemaslahatan yang tidak berpedoman
pada i’tibar nas. Bukan kemaslahatan yang hakiki.
b) Kalau
menetapkan hukum berdasarkan pada kemaslahatan semata yakni yang terlepas dari
syara’, sudah barang tentu akan dipengaruhi oleh hawa nafsu. Sedang hawa nafsu
tidak akan dapat melihat kemaslahatan yang hakiki. Hal ini merupakan
kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan yang tidak dapat dipercaya.
5.
Ruang
lingkup penerapan Mashlahah
Mursalah
Ruang lingkup penerapan Maslahah
Mursalah dikalangan kelompok pemegangnya terbatas pada bidang mu’amalah saja,
kemaslahatandalam bidang inilah yang mungkin ditemukan dan diketahui. Dia tidak
menjangkau bidang ibadah, karena bidang ini merupakan tata norma hubungan
manusia dengan Tuhannya dan sarana tertentu untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Oleh karena itu dibatasi menurut ketentuan yang dibawah nash dan tidak dengan
dalil adanya maslahat. Membuka pintu penetapan hukum dengan maslahat dalam
masalah ibadah akan membawa kepada berubahnya syi’ar agama dan beragamnya
ibadah padahal Allah sudah menjadikan sebagai syiar keagamaan yang satu
mencakup seluruh manusia sepanjang zaman.
6.
Macam-macam
Istislah
Dalam kajian para ahli al-ijtihad
mengemukakan terdapat tiga jenis mashlahah,yaitu:
a)
Mashlahah yang diakui
ajaran syari’ah.
Yang terdiri atas tiga macam tingkat
kebutuhan manusia, yaitu :
o Mashlahah
al-Dharuriyyah,
Yaitu
kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan
diakhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu (1) memelihara agama, (2)
memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara keturunan, (5) memelihara
harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalih al-khamsah.
Dharuriyyah,
(bersifat mutlak) karena menyangkut komponen kehidupannya sendiri sebagai
manusia, yakni hal-hal yang menyangkut terpelihara dirinya (jiwa, raga, dan
kehormatan) akal pikirannya, harta bendanya, nasab keturunannya dan kepercayaan
agamanya. Permasalahan diataslah yang merupakan dasar mashlahah.
o Mashlahah
al-Hajiyah,
Yaitu
kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kebutuhan pokok, untuk
menghindarkan kesulitan dan kemadharatan dalam kehidupannya. Misalnya, dalam
bidang ibadah di beri keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa
bagi orang yang sedang musafir; dalam bidang mu’amalah dibolehkan berburu
binatang dan memakan makanan yang baik-baik, di bolehkan jual beli pesanan
(bay’ al-salam), kerjasama dalam pertanian (muzara’ah) dan perkebunan
(musaqqah). Semua ini disyari’atkan Allah untuk mendukung kebutuhan mendasar
al-mashalih al-khamsah diatas.
o Mashlahah
al-Tahsiniyyah,
Yaitu
kemaslahatan yang merupakan kebutuhan pelengkap dalam rangka memelihara sopan
santun dan tata-krama dalam kehidupan. Misalnya, dianjurkan memakan makanan
yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunat
sebagai amal tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan
manusia.
Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga
seorang Muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan
sebelumnya. Kemaslahatan dharuriyyah harus lebih didahulukan dari kemaslahatan
hajiyyah,dan kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan dari kemaslahatan
tahsiniyyah.
b)
Mashlahah yang tidak
diakui ajaran syari’ah
Yaitu kepentingan yang bertentangan
dengan mashlahah yang diakui terutama pada tigkat pertama. Mashlahah ini
disebut Mashlahah al-Mulghah.
Mashlahah
al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan
dengan ketentuan syara’. Misalnya, syara’ menentukan bahwa orang yang melakukan
hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan dikenakan hukuman dengan
memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberikan makan
60 orang fakir miskin (H.R. al-Bukhari dan Muslim). Al-Laits ibn Sa’ad (94-175
H/ahli fiqh Maliki di Spayol), menetapkan hukuman puasa dua bulan
berturut-turut bagi seseorang (penguasa Spayol) yang melakukan hubungan seksual
dengan istrinya di siang hari Ramadhan. Para ulama memandang hukum ini
bertentangan dengan hadits Rasullah diatas, karena bentuk-bentuk hukuman itu
harus ditetapkan secara berurut. Kemaslahatan seperti ini, menurut kesepakatan
para ulama, disebut dengan mashlahah al-mulghah dan tidak bisa dijadikan
landasan hukum.
c)
Mashlahah yang tidak
terikat pada jenis pertama dan kedua.
Mashlahah ini disebut dengan
Mashlahah al-Mursalah. Mashlahah
al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan
tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Kemashlahatan
dalam bentuk ini terbagi kedalam dua macam yaitu :
o Mashlahah
al-gharibah, yaitu kemashlahatan yang asing, atau kemashlahatan yang sama
sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun secara umum.
Para ulama ushul fiqh tidak dapat mengemukakan contoh pastinya. Bahkan Imam
Syathibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktek,
sekalipun ada dalam teori.
o Mashlahah
al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh sekumpulan makna nash
yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadist).
Najm
al-Din al Thufi (675-716 H/1276-1316 M, ahli ushul fiqh Hambali), tidak membagi
mashlahah tersebut, sebagaimana yang dikemukakan para ahli ushul fiqh diatas.
Menurutnya, mashlahah merupakan dalil yang bersifat mandiri dan menempati
posisi yang kuat dalam menetapkan hukum syara’, baik mashlahah itu mendapat
dukungan dari syara’ maupun tidak.
o Al-Mashlahah al-‘ammah.
Hukum
Islam mengenal mashlahah ‘ainiyah (kepentingan perorang dari setiap manusia,
yang sifatnya umum yakni yang merupakan kepentingan setiap manusia dalam
hidupnya, seperti yang digambarkan dalam uraian terdahulu tentang al-mashalih
al-khamsah. Hal-hal ini terkait dengan taklif yang membentuk fardhu ‘ain.
Seperti misalnya menyangkut mashlahah harta benda (untuk makan, pakaian, dan
tempat tinggalnya), danmashlahah akal pikiran (kewajiban menuntut ilmu bagi
semua orang islam). Mashlahah ini terbagi atas dua macam mashlahah, yaitu:
·
Mashlahah al-‘Ammah,
yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu
tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan
mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya, para ulama membolehkan membunuh
penyebar bid’ah yang dapat merusak ‘aqidah uamat, karena menyangkut kepentingan
orang banyak.
·
Mashlahah al-Khasanah,
yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali. Dalam hal ini Mashlahah
al-Khasanah adalah merupakan kemaslahatan yang sifatnya pribadi dan sangat
jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan
perkawinan seseorang yang dinyatakan
hilang (maqfud).
Pentingnya
pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan prioritas mana yang harus
didahulukan apabila antara kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan
pribadi. Dalam pertentangan kedua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan
kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.
BAB III
PENTUTUP
1.
Kesimpulan
Mashlahah al-Mursalah, yaitu yang mutlak
menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh ialah suatu kemaslahatan
dimana Syari’ tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan
itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuan atau pembatalannya.
Maslahat ini disebut mutlak, karena ia tidak terikat oleh dalil yang mengakui
atau dalil yang membatalkannya.
2. Saran
Kami selaku pemakalah
menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu
saran dan masukan dari kawan-kawan akan sangat membantu dalam penyempurnaan
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Salam, Zarkasji. Oman Fathurohman. 1994.
Pengantar ilmu fiqh unsul fiqh I.yogyakarta:
lembaga studi filsafat islam(LESFI).
Suratmaputra,
Ahmad Munif, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali: Mashlahah-Mursalah dan
Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002
Al-Said, Muhammad,
“Buhust fi al-adillah al-Mukhtalaf fiha
inda al-Ushuliyin”. Mesir : Matba’
al-Sa-adah, th. 1980,
0 komentar:
Posting Komentar