HADIST
TUGAS
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadist pada Jurusan Ekonomi
Syari’ah
Dosen Pembimbing
:
Badrul
Munir
Oleh:
Fadhil Darmawi
140602247
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI AR-RANIRY
FAKULTAS
SYARI’AH DAN PERBANKAN ISLAM
DARUSSALAM,
BANDA ACEH
2014/2015
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Dzat yang menegakkan langit, membentangkan bumi, dan mengurusi
seluruh makhluk. Dzat yang mengutus rasulullah saw. Sebagai pembawa petunjuk dan menjelaskan syariat agama
kepada setiap mukallaf secara jelas
dan terang.
Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw. hamba dan utusan nya
yang tercinta, sosok yang paling utama diantara seluruh makhluk. Beliau
dimuliakan dengan Al-Quran yang merupakan mukjizat serta sunnah yang menjadi pembimbing bagi umat
manusia. Rahmat dan keselamatan Allah semoga selalu dilimpahkan kepada seluruh
nabi dan rasul, kepada keluarga, dan para shalihan.
Terima kasih kami ucapkan kepada bapak
pembimbing yang telah membimbing serta mengajarkan
kami, dan
mendukung kami sehingga terselesaikan makalah yang berjudul “Hadist” dan juga terima kasih yang sebesar – besarnya kami ucapkan kepada semua pihak yang
telah membantu kami sehingga
terselesaikan makalah ini.
Seperti kata
pepatah “Tiada gading yang tak retak”,
demikian pula dengan makalah ini, tentu masih banyak kekurangan. kami menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekhilafan, maka dengan hal itu
kami sangat
mengharapkan kritik
dan saran dari semua pihak sehingga ke
depan dapat menjadi koreksi untuk kemajuan dan lebih baik
demi penyempurnaan makalah ini.
Banda Aceh, 09 Desember 2014
Penulis
DAFTARISI
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... ....... 1
1.
Latar
Belakang................................................................................ 1
2.
Rumusan Masalah................................................................... ....... 1
3.
Tujuan Penulisan..................................................................... ....... 1
BABII PEMBAHASAN.................................................................................... 2
1.
Pengertian
Hadist............................................................................ 2
2.
Macam-macam Hadist............................................................. ...... 2
a.
Hadist Qauly...................................................................... ....... 2
b.
Hadist Fi’ly............................................................................... 3
c.
Hadist
Taqriry................................................................... ....... 3
3.
Sejarah Penulisan (Tadwin) Hadist........................................ ...... 4
4.
Metode Takhrij Hadist........................................................... ...... 8
BABIII PENUTUP..................................................................................... 12
1.
Kesimpulan................................................................................... 12
2.
Saran............................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 13 BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Islam sebagai agama Allah memiliki 2 sumber utama
sebagai pedoman, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Sumber yang kedua, yaitu Hadits
merupakan penjabaran dari sumber yang pertama yang maksudnya masih belum jelas
(tersirat), khususnya yang berkaitan dengan masalah kehidupan umat.
Seiring dengan perkembangan kehidupan umat, ternyata
posisi dan fungsi Hadits ini tidak saja dipalsukan, tetapi diingkari oleh
kalangan umat tertentu. Oleh sebab itu, perlu kiranya pengkajian lebih mendalam
mengenai apa itu Hadits dan apakah Hadits yang kita jadikan pegangan itu hadits
yang sahih atau tidak. Untuk lebih
jelasnya, berikut akan dipaparkan mengenai cara mengkaji hadits sahih.
2.
Rmusuan
Masalah
a.
Apa pengertian hadist?
b.
Apa-apa saja macam-macam hadist?
c.
Bagaimana sejarah pembukuan (tadwin)
hadist?
3.
Tujuan
Penulisan
a.
Menambah wawasan ilmu pengetahuan kita,
b.
Menyelesaikan tugas mata kuliah yang
telah diberikan oleh Dosen.
c.
Memahami kedudukan dan fungsi
hadistlebih mendalam.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Hadits
Al-Hadits dapat menjadi sumber ajaran Islam yang
lain di samping Al-Qur’an, sehingga kedudukan Hadits menjadi penting. Hadits
kadang-kadang disebut juga Al-Sunnah dan keduanya dipergunakan saling
bergantian untuk maksud yang sama. Bahkan term ini kadang-kadang diganti dengan
al-khabar atau al-atsar. Secara etimologis Hadits berarti baru, lawan dari lama
dekat/baru terjadi, perkataan, cerita, atau berita.
Sedangkan secara terminologi, Hadits dapat diartikan
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, dan pernyataan (taqrir),[1] Ahli
hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di
kalangan ulama hadits sendiri pada umumnya mendefinisikan hadist sebagai segala
sabda, perbuatan, taqrir (ketetapan), dan hal ikhwal yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad saw. Masuk ke dalam pengertian “hal ikhwal” segala yang
diriwayatkan dalam kitab-kita tarikh, seperti hal kelahirannya, tempatnya, dan
yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum diutus maupun sesudah diutus.
Berdasarkan definisi tersebut, maka bentuk-bentuk Hadits dapat dibedakan
sebagai berikut: 1. sabda, 2. perbuatan, 3. taqrir, dan 4. hal ikhwal Nabi saw.
Kalangan ulama Ushul mendefinisikan hadits sebagai segala perkataan, perbuatan,
dan taqrir Nabi saw. yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu, tidak masuk
dalam kategori hadits sesuatu yang tidak bersangkut paut dengan hukum seperti
urusan pakaian.
2.
Macam-macam
Hadits
a.
Hadits Qauly
Hadits Qauly ini sering juga dinamakan khabar, atau
berita berupa perkataan Nabi saw. yang didengar atau disampaikan oleh seorang
atau beberapa orang sahabat kepada yang lain. Hadits Qauly dapat dibedakan
kepada tiga hal :
1)
Diyakini benarnya, seperti khabar yang
datang dari Allah dan dari Rasulullah diriwayatkan oleh orang yang dipercaya
dan khabar mutawatir.
2)
Diyaniki dustanya, seperti dua berita
yang berlawanan dan berita yang menyalahiketentuan-ketentuan syara’
3)
Yang tidak diyakini benarnya, dan juga
tidak diyakini dustanya, hal ini ada tiga:
o
Tidak kuat benarnya dan tidak kuat pula
dustanya.
o
Khabar yang lebih dikuatkan benarnya
daripada dustanya.
o
Khabar yang lebih dikuatkan dustanya
daripada benarnya.
b.
Hadits
Fi’ly
Yaitu setiap perbuatan yang dilakukan Nabi saw. yang
diketahui dan disampaikan olehsahabat kepada orang lain. Hadits Fi’ly terbagi
kepada beberapa bentuk, ada yang harus diikuti oleh umatnya, dan ada yang tidak
harus diikuti, yaitu:
1.
Gharizah atau Nafsu yang terkendalikan
oleh keinginan dan gerakan kemanusiaan. Hadits Fi’ly ini menunjukkan tidak ada
kewajiban untuk diikuti (bersifat mubah).
2.
Sesuatu yang tidak berhubungan dengan
Ibadah, yang oleh sebagian ahli ushuldisebut al-Jibilah. Ini lebih pada urusan
keduniaan, budaya dan kebiasaan Padabagian ini tidak ada perintah untuk diikuti
dan diperhatikan. Jumhur ulama
memandangnya kepada jenis Mubah.
3.
Perangai yang membawa kepada syara'
menurut kebiasaan yang baik dan tertentu.Ini lebih dari sekedar urusan jibilah,
tapi sebawah dari urusan al-qurbah / ibadah
4.
Sesuatu yang bersifat khusus bagi Nabi
saw. dan tidak boleh diikuti oleh umatnya. Adapun urusan al-Qurbah ibadah yang
bersifat umum tidak hanya bagi Nabi saw, itu harus diikuti oleh orang muslim.
5.
Apa yang dilakukan Nabi saw. berupa
penjelasan terhadap sesuatu yang bersifat mujmal/samar tidak jelas. Maka
hukumnya sama dengan hukum mujmal tersebut.
6.
Apa yang dilakukan Nabi saw. menjelaskan
akan kebolehan /jawaz
c.
Hadits Taqririy
Yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan
di hadapan Nabi saw. Atau sepengetahuan Nabi, namun Nabi diam dan tidak
mencegahnya, maka sikap diam dan tidak mencegahnya, menunjukan persetujuan
Nabi. Hal ini karena kalau Nabi tidak setuju, tentuNabi tidak akan membiarkan
sahabatnya berbuat atau mengatakan yang salah, karena Nabiitu Ma'sum (terjaga
dari berbuan dan menyetujuan sahabat berbuat kemunkaran, karenamembiarkan dan
menyetujuan atas kemunkaran sama dengan berbuat kemunkaran.
3.
Sejarah
Penulisan (Tadwin) Hadits
a.
Periode Pertama (Masa Rasulullah
SAW)
Pada periode pertama para sahabat langsung
mendengarkan dari Rasulullah SAW atau dari sahabat lain, karena para sahabat
tersebar di penjuru negri, ada yang di Dusun, dan ada yang di kota. Adakalanya
diterangkan oleh istri-istri rasul seperti dalam masalah kewanitaan dan
rasulullah SAW juga memerintahkan para sahabat untuk menghapal dan menyebarkan
hadits-haditsnya diantara sabda beliau yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim : “Dan ceritakanlah daripadaku, tidak ada
keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang kamu dengar daripadaku. Barang
siapa yang berdusta terhadap diriku, hendaklah ia bersedia menempati
kedudukannya di neraka.”
Perlu diketahui bahwa dalam menyampaikan hadits
dilakukan dengan dua cara :
Dengan lafadz asli, yakni menurut laafadz yang
mereka dengar dari Rasulullah Saw. Dengan makna saja, yakni hadits tersebut
disampaikan dengan mengemukakan makna saja, tidak menurut lafadz seperti yang
diucapkan Nabi.
Kecuali itu, pada masa Rasulullah SAW sudah ada catatan
hadits-hadits beliau seperti Abdullah bin Amru, dan pernah suatu waktu
Rasulullah SAW berkhutbah, setelah seorang dari yaman datang dan berkata. ”Ya
Rasulullah tuliskanlah untukku”, tulislah Abu Syah ini.”
Kembali kepada pelarangan Rasulullah SAW dalam
penulisan hadits. Tujuan Rasulullah adalah agar al-Qur’an tidak bercampur
dengan apapun, termasuk erkataan beliau sendiri. Ketika menemukan ternyata ada
sahifah-sahifah berisi hadits pada masa Rasulullah SAW kita tidak akan berani
mengatakan bahwa para sahabat menghiraukan perintah Rasulullah SAW. Setelah
diteliti ternyata ada hadits yang menyatakan bolehnya penulisan hadits, seperti
sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan Abu Daud;
“Tulislah, maka jiwaku yang berada
ditangan-Nya tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran.”
Hadits diatas terlihat kontradiktif dengan hadits
sebelumnya, berikut ini adalah pendapat para ulama untuk mengkomromikan kedua
hadits ini;
a)
Bahwa larangan menulis hadits itu, telah
dimansukh oleh hadits yang memerintahkan menulis
b)
Bahwa larangan itu bersifat umum, sedang
untuk beberapa sahabat khusus diizinkan
c)
Bahwa larangan menulis hadits ditujukan
kepada mereka yang dikhawatirkan mencampur adukannya denga al-Qur’an, sedangkan
keizinan menulis ditujukan kepada mereka yang dijamin tidak akan
mencampuradukannya.
d) Bahwa
larangan itu dalam bentuk kodifikasi secara formal seperti mushaf al-Qur’an,
sedang untuk diakai sendiri tidak dilaarang.
e)
Bahwa larangan itu berlaku pada saat
wahyu-wahyu yang turun belum dihafal dan dicatat oleh para sahabat, setelah
dihafal dan dicatat, menulis hadits diizinkan.
b.
Periode Kedua (Masa Khalifah
Rasyidah)
Pada masa erintahan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a.,
pengembangan hadits tidak begitu pesat, hal ini disebabkan kebijakan kedua
khalifah ini dalam masalah hadits, mereka menginstruksikan agar berhati-hati
dalam meriwayatkan hadits. Bahkan khalifah Uimar r.a dengan tegas melarang
memperbanyak periwayatan hadits. Hal ini dimaksudkan agar al-Qur’an terpelihara
kemudiannya dan ummat Islam memfokuskan dirinya dalam pengkajian al-Qur’an dan
penyebarannya.
Hakim meriwayatkan; pernah suatu malam Abu Bakar r.a
merasa bimbang sekali, pagi harinya ia memanggil putrinya Aisya r.a dan meminta
kumpulan hadits yang ada padanya lalu Abu Bakar membakarnya. Lain halnya ada masa
khalifah Utsman dan Ali r.a, mereka sedikit memberi kelonggaran dalam
mengembangkan hadits tetapi mereka masih sangat berhati-hati agar tidak
bercampur dengan al-Qur’an, Khalifash Ali r.a, melarang penulisan selain
al-Qur’an yang sesungguhnya ditujukan untuk orang-orang awam, karena beliau
sendiri memiliki sahiofah yang berisi kumpulan hadits.
c.
Periode Ketiga ( Masa Sahabat Kecil
dan Tabi’in Besar)
Setelah berakhirnya masa pemerintahan Ali r.a, ummat
Islam dilanda fitna besar, dimana mereka terpecah menjadi 3 golongan; Golongan
pendukung Ali (syi’ah), golongan pendukung Muawiyah dan golongan Khawarij.
Dalam perkembangannya golongan-golongan ini mulai
memalsukan hadits dengan tujuan membenarkan golongan mereka dan menjatuhkan
golongan lain. Hal ini mendorong para sahabat dan tabi’in lebih berhati-hati
dalam meriwatkan dan mengumpulkan hadits. Tapi walau bagaimanapun belum ada
kodifikasi secara formal.
Abad pertama seluruhnya mencakup masa sahabat, sebab
sahabat-sahabat yang banyak meriwayatkan hadits meninggal pada abad pertama
Hijriyah ini, walaupun ada yang meninggal sesudah itu. Tidak dipungkiri bahwa
pada abad pertama penulisan hadits yang dilakukan oleh tabi’in juga sudah ada.
Oleh karena itu perlu dipisahkan antara hadits-hadits yang di tulis oleh para
Sahabat dan hadits-hadits yang ditulis oleh Tabi’in. Dalam pembahasan ini akan
dikhususkan pada tulisan para Sahabat.
Di sini akan dituliskan nama-nama sahabat, serta
kegiatan mereka berkenaan dengan penulisan hadits, serta tahun mereka lahir dan
kapan wafatnya. Hal ini penting kita ketahui dalam pembahasan sejarah penulisan
hadits.
·
Abu
umamah al-Bahili
Nama
aslinya Shudai bin ’Ajlan, RA (10 SH - 81 H). Beliau termasuk yang berpendapat
membolehkan penulisan hadits. Hadits-hadits beliau ditulis oleh al- Qasim
al-Syami.
·
Abu
Ayyub al-Ansari
Nama
aslinya Khalid bin Zaid, RA. (w. 52 H) beliau menulis beberapa hadits Nabi dan
dikirimkan kepada kemanakannya, seperti yang dituturkan dalam kitab Musnad Imam
Ahmad12. Cucu beliau, yaitu Ayyub bin Khalid bin Ayyub al-Ansari juga
meriwayatkan 112 hadits. Yang biasanya hadits yang banyak semacam ini dalam
lembaran-lembaran (shahifah).
·
Abu
Bakar al-Siddiq, RA. ( 50 SH – 13 H)
Dalam
suratnya kepada Anas bin Malik, gubernur Bahrain, Abu Bakar mencantumkan
beberapa hadits tentang wajibnya membayar zakat bagi orang- orang Islam13. Abu
bakar juga berkirim surat kepada ’Amr bin al-’Ash, dimana dalam surat itu
dicantumkan beberapa hadits Nabi1.
·
Abu
Bakrah al-Tsaqafi
Nama
sebenarnya Nufa’i bin Masruh (w. 51 H). Beliau menulis surat kepada anaknya
yang menjadi hakim di Sijistan, dimana beliau mencantumkan beberapa hadits
berkaitan dengan peradilan.
·
Abu
Rafi, Mantan Sahaya nabi SAW.
Beliau
wafat sebelum tahun 40 H. Abu Bakr bin Abd Rahman mengatakan, ia diberi kitab
oleh Abu Rafi’ yang berisi hadits-hadits tentang pembukaan shalat16.
Hadits-hadits dari Abu Rafi’ ditulis oleh Abdullah bin ’Abbas; seperti yang
dituturkan Salma, ia melihat Abdullah bin Abbas membawa papan-papan untuk
menulis hadits-hadits amaliah Nabi dari Abu Rafi’.
·
Abu
Sa’id al-Khudri
Nama
aslinya Sa’ad bin malik, RA, (w. 74 H). Beliau dekenal sebagai orang yang
melarang murid-muridnya untuk menulis hadit-hadits daripadanya. Tetapi beliau
menulis hadits untuk dirinya sendiri, sebagaimana dikutip al-Khatib al-Bagdadi
dalam kitab Taqyyid al-’Ilm bahwa belai berkata ”Saya tidak menulis apapun
selain al-Qur’an dan tasyahhud.
·
Abu
Syah, orang dari Yaman
Ketika
Rasulullah SAW menaklukkan kota Makkah, beliau berpidato, lalu Abu Syah memohon
kepada Rasulullah agar isi pidato itu dituliskan untuknya. Maka Rasulullah
bersabda, ”Tuliskanlah untuk Abu Syah.
·
Abu
Musa al-Asy’ari
Nama
aslinya Abdullah bin Qais, RA (w. 42 H). Konon beliau menentang penulisan
hadits Nabi. Tetapi beliau menulis surat kepada Abdullah bin Abbas dengan
mencantumkan beberapa hadits nabi.
·
Abu
Hurairah, RA (19 SH – 59 H)
Belaiu
adalah tokoh orang-orang yang hafal hadits. Pada awalnya Abu hurairah tidak
memiliki kitab hadits, tetapi pada masa-masa belakangan beliau menuturkan bahwa
beliau mempunyai kitab-kitab hadits, seperti dalam kisah yang diriwayatkan oleh
Fadlbin ’Amr bin Umayyah al-Dlamri.
·
Ubai
bin Ka’ab bin Qais al-Anshari, RA (w. 22 H)
Beliau
adalah tokoh sahabat ahli qira’at. Hadits-hadits beliau ditulis oleh Abu
al-’Aliyah Rufai’ bin Mahran dalam sebuah naskah (buku) besar. Hadits-haditsnya
menyangkut masaalah penafsiran al-Qur’an.
·
Asma
binti ’Umais, RA (w. Sesudah 40 H)
Semula
beliau adalah istri Ja’far bin Abu Thalib, lalu menikah dengan Abu bakar,
kemudian dengan Ali bin Abi Thalib. Dan dari ketiga suami tersebut beliau
melahirkan putra-putra. Beliau nenyimpan sahifah yang berisi hadits-hadits
Nabi.
Akhirnya kita memohon dan berdo’a kepada Allah agar
kita senantiasa dapat mengikuti sunnah-sunnah Rasul-Nya dan Menyebarkannya.
Allahumma Amin.
4.
Metode
Takhrij Hadits
Mencari sebuah hadits tidaklah sama dan semudah
mencari ayat al-Qur'an. Untuk mencari ayat al-Qur'an cukup dengan sebuah kamus
seperti al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur'an al-Karim dan sebuah mushaf
al-Qur'an. Sedangkan hadits, karena ia terhimpun dalam banyak kitab,
diperlukkan waktu yang lebih lama untuk menelusurinya sampai sumber asalnya.
Meskipun begitu, para ulama hadits telah menulis kitab-kitab yang dapat
membantu seorang peneliti hadits dalam rangka kegiatan takhrij. Tetapi, hanya
sedikit yang sampai kepada kita. Kitab-kitab yang dapat dijumpai hanya¬lah
merupakan alat bantu, seperti al-Jami' al-Shaghir, al-Mu'jam al-Mufahras li
Alfadz al-Hadits al-Nabawi, Miftah Kunuz al-Sunnah, kitab-kitab al-Athraf, dan
lain-lainnya. Mengenai cara-cara
mentakhrij hadits, al-Mahdi dan al-Thahhan mengemukakan lima metode takhrij
sebagai berikut.
a.
Takhrij melalui periwayat pertama (Al-Rawi
Al-A'la)
Takhrij dengan metode ini dapat dilakukan dengan
terlebih dahulu mengetahui secara pasti perawi pertamanya, baik dari kalangan
Sahabat ataupun tabi'in. Langkah perta¬ma dari metode ini adalah mengenal nama
perawi pertama dari hadits yang akan ditakhrij. Langkah berikutnya adalah
mencari nama perawi yang diinginkan dari kitab-kitab al-Athraf atau Musnad.
Bila nama perawi pertama yang dicari telah ditemukan, kemudian dicari hadits
yang diinginkan di antara hadits-hadits yang tertera di bawah nama perawi
tersebut. Bila sudah ditemukan, maka akan diketahui ulama hadits yang
meriwayatkannya.
Kitab yang membantu untuk kegiatan takhrij berdasarkan
metode ini adalah kitab-kitab al-Athraf dan Musnad. Al-Athraf adalah himpunan
hadits yang berasal dari kitab induknya di mana yang dicantumkan hanyalah
bagian atau potongan hadits dari setiap hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat
atau tabi'in. Di antara kitab-kitab al-Athraf yang terkenal adalah Athraf
al-Shahihain karya Imam Abu Mas'ud Ibrahim ibn Muhanmmad ibn Ubaid al-Dimasyq,
Athraf al-Kutub al-Sittah karya Syamsuddin Abu al-Fadhli Muhammad ibn Tahin ibn
Ahmd al-Maqdisi, Al-Isyraf 'ala ma'rifah al-Athraf karya Abu al-Qasim Ali ibn
Abi Muhammad al-Hasan al-Dimasyq, Tuhfat al-Asyraf bi Ma'rifat al-Asyraf karya Jamal
al-din Abu al-Hajjaz Yusuf ibn 'Abd al-Rahman.
Musnad adalah kitab hadits yang disusun berda¬sarkan
nama-nama Sahabat yang meriwayatkannya. Cara penyusunan nama-nama Sahabat dalam
kitab ini tidak sama, ada yang disusun secara alpabet dan ada juga yang disusun
berdasarkan waktu masuk Islam atau keutamaan Sahabat. Di antara kitab-kitab
Musnad tersebut adalah kitab Musnad karya Imam Ahmad ibn Hanbal, karya Abu Bakr
'Abdullah ibn al-Zubair al-Humaidi, dan karya Abu Daud al-Tayalisi.
Keunggulan metode ini: cepat sampai pada sahabat yg
meriwayatkan hadis krn alfabetis, Kekurangannya: lama sampai pd hadis yg dicari
jika sahabat tsb. banyak meriwayatkan hadis
b.
Takhrij melalui lafadz pertama Matan
Hadits
Penggunaan metode didasarkan atas lafadz pertama
matan hadits. Melalui metode ini, pentakhrij terlebih dahulu menghimpun lafadz
pertama hadits berdasarkan huruf-huruf hijaiyah. Setelah pentakhrij mengetahui
lafadz pertama yang terletak dalam hadits tersebut, selanjutnya ia mencari
lafadz itu dalam kitab-kitab takhrij yang disusun sesuai dengan metode ini
berdasarkan huruf perta¬ma, huruf kedua dan seterusnya. Contoh, hadits yang
berbunyi “man ghasyaanaa falaisa minna” Langkah pertama, karena lafadz
pertamanya adalah “man”, maka pentakhrij harus mencarinya pada bab mim ( م ).
Langkah kedua mencari huruf nun ( ن ) setelah mim ( م ) tersebut. Ketiga,
mencari huruf-huruf selanjutnya yang mengiringinya, yaitu ghain ( غ ), dan
demikian seterusnya.
Kitab-kitab yang dapat digunakan untuk mentakhrij
dengan metode ini di antaranya adalah al-Jami' al-Kabir karya Imam Suyuthi,
al-Jami' al-Azhar karya al-Manawi, al-Jami' al-Shaghir min Hadits al-Basyir
al-Nazhir karya Jalaluddin al-Suyuthi. Dalam kitab al-Jami' al-Shaghir min
Hadits al-Basyir al-Nazhir, Jalaluddin al-Suyuthi menghimpun dan menyusun
hadits-hadits yang diatur berdasarkan urutaan huruf hijaiyyah, mulai dari huruf
alif, ba', ta', dan seterusnya.
Dalam menjelaskan kualitas hadits, kitab ini menggunakan
rumus-rumus sebagai berikut: “Shahha”
untuk hadits berkualitas shahih; ح untuk hadits berkualitas hasan; dan ض untuk
hadits berkualitas dla'if. Sedangkan untuk kode mukharrij dari hadits yang
bersangkutan digunakan kode خ untuk Bukhari, م untuk Muslim, مح untuk Ahmad, ت
untuk Turmuzhi.
c.
Takhrij melalui penggalan kata-kata
yang tidak banyak diungkap dalam lisan
Menurut Mahmud al-Thahhan, mentakhrij hadits dengan
metode ini dapat menggunakan kitab al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits
al-Nabawi karya A.J. Wensinck yang di¬terjemahkan oleh Muhammd Fuad 'Abd
al-Baqi. Kitab ini merujuk kepada kitab-kitab yang menjadi sumber pokok hadits,
yaitu Kutub al-Sittah, al-Muwaththa', Musnad Imam Ahmad, dan Musnad al-Darimi.
Cara penggunaan kitab al-Mu'jam di atas dapat
dilihat pada jilid 7 bagian permulaan. Di sana akan dipe¬roleh penjelasan
tentang bagaimana menggunakan kitab ini secara mudah. Dua hal penting yang
perlu dijelaskan di sini adalah pemberian kode nama yang dijadikan sumber
rujukan, misalnya محuntuk Ahmad, ت untuk
Turmuzhi, هج untuk Ibn Majjah, ىم untuk Darimi; dan penjelasan tentang kitab
atau bab dan halaman kitab yang dirujuk, misalnya Musnad Ahmad, nomor setelah
rumus/kode terdapat dua bentuk: nomor kecil menunjukkan jilid dan nomor besar
menun¬jukkan halaman dari kitab yang dimaksud.
Kelebihan metode ini di antaranya:
·
Mempercepat pencarian hadits.
·
Membatasi hadits-haditsnya pada
kitab-kitab induk dengan menyebutkan nama kitab, juz', bab, dan halaman.
·
Memungkinkan pencarian hadits melalui
kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits.
Sedangkan kekurangannya:
·
Pentakhrij harus memiliki kemampuan
berbahasa Arab beserta perangkat-perangkat ilmunya, karena metode ini menuntut
untuk mengembalikan kata kuncinya kepada kata dasar.
·
Terkadang suatu hadits tidak dapat
ditemukan dengan satu kata kunci, sehingga pentakhrij harus mencarinya dengan
menggunakan kata-kata yang lain.
d.
Takhrij berdasarkan topik hadits
Seorang pentakhrij boleh saja tidak terikat dengan
bunyi atau lafadz matan hadits yang ditakhrijnya, tetapi berupaya memahami
melalu topiknya. Upaya penelusurannya memerlukan kitab atau kamus yang dapat
memberikan penjela¬san riwayat hadits melalui topik yang telah ditentukan.
Di antara kitab yang dapat membantu kegiatan takhrij
dengan metode ini adalah Miftah Kunuz al-Sunnah, al-Jawami' al-Shahih,
al-Mustadrak 'ala Shahihain, Jam'u al-Fawaid min Jam'i al-Ushul wa Majma'
al-Zawaid.
Menurut Mahmud al-Thahhan, kitab hadits yang
dijadikan acuan oleh kitab-kitab di atas jumlahnya banyak sekali. Di antaranya,
Kutub al-Sittah, al-Muwaththa', Musnad Ahmad, Sunan al-Darimi, Musnad Zaid ibn
Al, Sirah ibn Hisyam, Maghazi al-Waqidi, dan Thabaqah ibn Sa'ad.
Keunggulan metode ini di antaranya adalah:
·
Metode ini mendidik ketajaman pemahaman
terhadap hadits pada diri pentakhrij.
·
Metode ini dapat memperkenalkan
pentakhrij dengan hadits-hadits lain yang senada dengan hadits yang dicari.
Sedangkan kelemahannya:
·
Terkadang kandungan hadits itu sulit
disimpulkan oleh pentakhrij sehingga tidak dapat ditentukan temanya. Akibatnya
ia tidak mungkin menggunakan metode ini, apalagi kalau topik yang dikandung
hadits itu lebih dari satu.
·
Terkadang pemahaman pen¬takhrij tidak
sesuai dengan pemahamaan penyusun kitab, karena penyusun kitab meletakkan suatu
hadits pada topik yang tidak diduga oleh pentakhrij.
e.
Takhrij berdasarkan status hadits
Melalui kitab-kitab tertentu, para ulama berupaya
menyusun hadits-hadits berdasarkan statusnya, seperti hadits qudsi, masyhur,
mursal, dan lain-lain. Kelebihan metode ini dapat memudahkan proses takhrij,
karena hadits-hadits yang diperlihatkan berdasarkan statusnya jumlahnya sangat
sedikit dan tidak rumit. Meskipun demikian, keku¬rangannya tetap ada yaitu
terbatasnya kitab-kitab yang memuat hadits menurut statusnya. Di antara kitab
yang disusun menurut metode ini adalah: al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akhbar
al-Mutawatirah karya Suyuthi, yang memuat hadits-hadits mutawatir.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Takhrij hadits pada dasarnya hanyalah langkah awal
dari penelitian hadits. Di antara langkah-langkah penting berikutnya yang harus
dilakukan dalam kerangka penelitian hadits adalah kritik matan (naqd al-matn)
dan kritik sanad. Hadits sangat penting kehidupannya untuk diteliti, karena
hadits Nabi sebagai salah satu salah satu sumber ajaran Islam yang kedua
setelah al-Qur’an. Penelitian hadits dimaksudkan agar mengetahui kualitas
hadits karena banyaknya hadits yang tidak sahih.
2.
Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Kami
sebagai pemakalah menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu
saran dan kritik yang membangun, sangat kami harapkan. Dan akhir kata,
pemakalah meminta maaf apabila terdapat kesalahan baik berupa sistematika
penulisan, maupun isi dalam makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Syiba’i,
Musthafa, Sunnah dan Peranannya dalam
Penetapan Hukum Islam, Penerjemah Nur Cholis Majid, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1993).
Ismail,
M. Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela
dan Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
Ismail,
M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits
Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
Nata,
Abudin, Metodologi Studi Islam,
(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2004).
Suparta,
Munzier, Ilmu Hadits, (Jakarta: Grafindo Persada, 2003).
Syukur,
M. Amin, Metodologi Studi Islam,
(Semarang: CV, Gunung Jati).
Ulama’i,
A. Hasan Asy’ari, Melacak Hadits Nabi
SAW, Cara Cepat Mencari Hadits Nabi dari Manual Hingga Digital, (Semarang: Rasail,
2006).