Makalah
Pengantar Ekonomi Islam
JUAL BELI, RIBA DAN LABA
Disusun oleh :
Fadhil Darmawi
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM,
BANDA ACEH
2014/2015
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Dzat yang menegakkan langit, membentangkan bumi, dan mengurusi
seluruh makhluk. Dzat yang mengutus rasulullah saw. Sebagai pembawa petunjuk dan menjelaskan syariat agama
kepada setiap mukallaf secara jelas
dan terang.
Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw. hamba dan utusan nya
yang tercinta, sosok yang paling utama diantara seluruh makhluk. Beliau
dimuliakan dengan Al-Quran yang merupakan mukjizat serta sunnah yang menjadi pembimbing bagi umat
manusia. Rahmat dan keselamatan Allah semoga selalu dilimpahkan kepada seluruh
nabi dan rasul, kepada keluarga, dan para shalihan.
Terima kasih kami ucapkan kepada bapak pembimbing yang telah membimbing
serta mengajarkan kami, dan
mendukung kami sehingga terselesaikan makalah yang berjudul “Jual Beli, Riba dan Laba” dan juga terima
kasih yang sebesar – besarnya kami ucapkan
kepada semua pihak yang telah membantu kami sehingga terselesaikan makalah ini.
Seperti kata pepatah “Tiada gading yang tak retak”, demikian
pula dengan makalah ini, tentu masih banyak kekurangan. kami menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan
kekhilafan, maka dengan hal itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak sehingga ke
depan dapat menjadi koreksi untuk kemajuan dan lebih baik demi
penyempurnaan makalah ini.
Banda Aceh, 24 November
2014
Penulis
DAFTARISI
KATAPENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... ....... 1
1.
Latar
Belakang................................................................................ 1
2.
Rumusan Masalah................................................................... ....... 1
3.
Tujuan Penulisan..................................................................... ....... 1
BABII PEMBAHASAN.................................................................................... 2
1.
Jual
Beli.......................................................................................... 2
a.
Pengertrian Jual Beli................................................................ 2
b.
Rukun (Unsur) Jual Beli............................................................ 2
c.
Hukum Jual Beli................................................................ ...... 3
d.
Syarat Sahnya Jual Beli.................................................... ....... 3
e.
Saksi dalam Jual Beli ........................................................ ....... 4
f.
Bentuk-bentuk Ba’i (Jual Beli) .......................................... ....... 4
g. Persyaratan
dalam Jual Beli ............................................. ....... 5
2.
Akad
dalam Jual Beli ............................................................. ....... 7
a)
Salam(In-Front Payment Sale ........................................ ...... 7
b)
Dasar Hukum Salam....................................................... ....... 8
3.
Riba........................................................................................ ....... 8
a.
Pengertian Riba................................................................ ....... 8
b.
Dasar logis pelanggaran Riba.......................................... ....... 9
c.
Jenis-jenis Riba masa kehadiran
Islam............................. ....... 9
d.
Al-qur’an tentang Riba...................................................... ..... 10
e.
Hadist NabiMuhammad SAW tentang
bunga(Riba)......... ..... 10
f.
Sebab-sebab dilarangnya bunga....................................... ..... 10
4.
Murabahah
(Laba)................................................................... ..... 11
a.
Pengertia Murabahah (Laba) ................................................ 11
b.
Dasar Hukum ................................................................... ..... 11
5.
Perbedaan
Jual Beli Murabahah dengan Bunga (Riba) ........... ..... 11
BABIII PENUTUP..................................................................................... 13
1.
Kesimpulan................................................................................... 13
2.
Saran............................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 14
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Atas dasar pemenuhan kebutuhan sehari –hari, maka
terjadilah suatu kegiatan yang di namakan Jual beli. Jual beli menurut bahasa
artinya menukar sesuatu dengan sesuatu, sedang menurut syara’ artinya menukar
harta dengan harta menurut cara-cara tertentu (‘aqad). Sedangkan Riba yaitu
memiliki sejarah yang sangat panjang dan prakteknya sudah dimulai semenjak
banga Yahudi sampai masa Jahiliyah sebelum Islam dan awal-awal masa ke-Islaman.
Padahal semua agama Samawi mengharamkan Riba karena tidak ada kemaslahatan
sedikitpun dalam kehidupan bermasyarakat. Allah SWT berfirman:
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan
atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan
disebabkan mereka memakan Riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil.
Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa
yang pedih”. (QS an-Nisaa’
160-161)
2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian Jual beli, laba dan Riba
b. Apa landasan hukum Jual beli, laba dan Riba
c. Bagaimanakah
hukum Jual beli, laba dan Riba?
3. Tujuan
Penulisan
a.
Mengetahui bagaimana cara
bermuammalah yang benar,yang diaajarkan oleh agama Islam.
b.
Menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan kita tentang Muammalah
dalam Islam.
c.
Menyelesaikan tugas mata
kuliah yang telah diberikan oleh Dosen.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Jual beli
a.
Pengertian Jual
beli
Secara
Terminologi Fiqh Jual beli disebut dengan Al-Ba’i
yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lainnya.
Menurut
Hanafiah pengertian Jual beli (Al-Ba’i) secara definitif yaitu tukar menukar
harta benda atau sesuatu yag diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui
cara tertentu yang bermanfaat. Adapun menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan
Hanabilah bahwa jual beli
(Al-Ba’i) yaitu tukar menukar harta dengan harta pula dalam bentuk pemindahan
milik dan kepemilikan.
Berdasarkan
defenisi diatas, maka pada intinya Jual beli itu adalah tukar menukar barang.
Hal ini telah dipraktikkan oleh masyarakat primitif ketika uang belum digunakan
sebagai alat tukar menukar barang, yaitu dengan sistem barter yang dalam
Terminologi Fiqh disebut dengan Ba’i
Al-Muqayyadah.
b.
Rukun (Unsur) Jual beli
Rukun
Jual beli ada 3, yaitu :
a. yaitu
penjual dan pembeli.
b. Objek
transaksi yaitu harga dan barang.
c. Akad
(Transaksi), yaitu Pelaku transaksi, segala tindakan yang dilakukan kedua belah
pihak yang menunjukkan mereka sedang melakukan transaksi, baik tindakan itu
berbentuk kata-kata maupun perbuatan.
Menurut
kompilasi hukum ekonomi syar’ah, usur Jual beli ada 3 yaitu :
a. Pihak-pihak.
Pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian Jual beli terdiri atas penjual,
pembeli dan pihak lain yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
b. Objek.
Objek Jual beli terdiri atas benda yang berwujud dan benda yang tidak berwujud,
yang bergerak maupun benda yang tidak bergerak dan yang terdaftar maupun yang
tidak terdaftar
c. Kesepakatan.
Kesepakatan dapat dilakukan dengan tulisan, lisan dan isyarat, ketiganya
mempunyai makna hukum yang sama. Ada dua bentuk akad yaitu :
Ø Akad
dengan kata-kata, dinamakan juga dengan nama ijab kabul. Ijab yaitu kata-kata
yang diucapkan terlebih dahulu. Misalnya : penjual berkata : “Baju ini saya
jual dengan harga Rp 10.000,-. Kabul yaitu kata-kata yang diucapkan kemudian.
Misalnya pembeli berkata : “Barang saya terima”.
Ø Akad
dengan perbuatan, dinamakan juga
dengan Mu’athah. Misalnya pembeli
memberikan uang seharga Rp 10.000,- kepada penjual, kemudian mengambil barang
yang senilai itu tanpa terucap kata-kata dari kedua belah pihak.[1]
c.
Hukum Jual beli
Jual
beli telah disahkan oleh Al-qur’an, Sunnah dan Jima’. Adapun dalil Al-Qur’an
adalah Q.S. Al-Baqarah/2: 275: “Allah
telah menghalalkan Jual beli dan mengharamkan
Riba”. Dan firman Allah dalam Al-Qur’an Surat
An-Nisa’/4: 29: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu sekalian memakan harta sesamamu dengan jalan batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara
kamu.”
Adapun
dalil sunnah diantaranya adalah hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW,
Beliau bersabda : “Sesungguhnya Jual beli
itu atas dasar saling ridha.” Ketika ditanya usaha apa yang paling utama,
beliau menjawab: “Usaha seseorang dengan
tangannya sendiri dan setiap Jual beli yang mabrur.” Jual beli tang mabrur
adala setiap Jual beli yang tidak ada dusta dan khianat, sedangkan dusta adalah
penyamaran dalam barang yang dijual dan penyamaran itu adalah penyembunyian aib
barang dari penglihatan pembeli. Adapun makna khianat itu lebih umum dari itu
sebab, selain menyamarkan bentuk barang yang dijual, sifat, atau hal-hal luar
seperti dia menyifatkan dengan sifat yang tidak benaratau memberi tahu harta
yang dusta.[2]
d.
Syarat Sahnya Jual beli
Suatu
Jual beli tidak sah bila tidak memenuhi dalam suatu akad tujuh syarat, yaitu :
1. Saling
rela antara kedua belah pihak, berdasarkan firman Allah dalam QS. An-Nisa’/4: 29, dan hadist Nabi
diriwayatkan oleh Ibnu Majah: “Jual beli
haruslah atas dasar kerelaan (suka sama suka).”
2. Pelaku
akad adalah orang yang dibolehkan melakukan akad, yaitu orang yang telah
baligh, berakal dan mengerti.
3. Harta
yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebalumnya oleh kedua belah pihak.
Hal ini berdasarkan hadist Nabi SAW yang diriwayatkan olehAbu Daud dan Tirmizi.
“Janganlah engkau menjual barang yang
bukan milikmu”.
4. Objek
transaksi adalah barang yang dibolehkan dalam agama. Hal ini berdasarkan Hadist
Nabi. “Sesungguhnya Allah bila
mengharamkan suatu barang juga mengharamklan nilai jual barang tersebut.”
5. Objek
transaksi adalah barang yang buiasa diserah terimakan. Hal ini berdasarkan
hadist Nabi. “Dari Au Hurairah r.a bahwa
Nabi Muhammad SAW melarang Jual beli gharar (penipuan).
6. Objek
Jual beli diketahui oleh kedua belah oihak pada saat akad.
7. Harga
harus jelas saat transaksi. Maka tidak sah Jual beli dimana penjual mengatakan
: “aku jual mobil ini kepadamu dengan
harga yang akan kita sepakati nantinya”. Hal ini berdasarkan hadist Riwayar
muslim tersebut.[3]
e.
Saksi dalam Jual beli
Jual
beli dianjurkan dihadapan saksi, berdasarekan firman Allah QS. Al-baqarah/2: 82. “Dan persaksikanlah apabila kalian berJual beli”.
Demikian ini karena Jual beli yang dilakukan dihadap
saksi dapat menghindari terjadinya perselisihan dan menjauhkan diri dari sikap
paling menyangkal. Oleh karena itu, lebih baik dilakukan, khusunya bila barang
dagangan tersebut mempunyai nilai yang sangat mahal (penting). Billa barang
dagangan itu nilainya sedikit, maka tidak dianjurkan mempersaksikannya. Ini
adalah pendapat Imam Syafi’i,
Hanafiyah, Ishak dan Ayyub.[4]
f.
Bentuk-bentuk Ba’i (Jual
beli)
Dari
berbagai tinjauan, ba’i dapat dibagi
menjadi berberapa bentuk. Berikut ini bentuk-bentuk ba’i :
1. Ditinjau
dari sisi objek akad ba’i yang
menjadi :
a. Tukar-menukar
uang dengan barang
b. Tukar-menukar barang
dengan barang
c. Tukar-menukar
uang dengan uang
2. Ditinjau
dari sisi waktu serah terima, ba’i
dibagi menjadi empat bentuk :
a. Barang
dan uang serah terima dengan tunai, ini bentuk asal ba’i
b. Uang
dibayar dimuka dan barang menyusul pada waktu yang disepakati, ini dinamakan Salam
c. Barang
diterima dimuka dan uang menyusul, disebut dengan ba’i ajal (Jual beli tidak tunai). Misalnya Jual beli kredit
d. Barang
dan uang tidak tunai, disebut ba’i dain
bi dain (Jual beli utang dengan utang),
3. Ditinjau
dari menetapkan harga, ba’i dibagi
menjdi :
a. Ba’i Musawamah, (Jual
beli dengan tawa- menawar) yaitu Jual beli dimana pihak penjual tidak
menyebutkan harga pokok barang, akan tetapi menetapkan tertentu dan membuka
peluang untuk ditawar.
b. Ba’i Amanah, yaitu
Jual beli dimana piohak penjual menyebutkan harga jual barang tersebut. Ba’i jenis ini terbagi lagi menjadi tiga
bagian:
a) Ba’i Mudharabah, yaitu
pihak penjual menyebutkan harga pokok barang dan laba.
b) Ba’i al-wadh’iyyah, yaitu
pihak penjual menyebutkan harga pokok barang atau menjual barang tersebut
dibawah harga pokok.
c) Ba’i Tauliyah, yaitu
penjual menyebutkan harga pokok dan menjualnya dengan harga tersebut, misalnya
penjual berkata : “barang ibu saya beli
dengan harga Rp10.000,- dan saya menjual sama dengan harga pokok.”[5]
g.
Persyaratan
dalam Jual beli
Hukum
asal persyaratan dalam Jual beli adalah sah dan mengikat, maka dibolehkan bagi
kedua belah pihak menambahkan persyaratan dari akad awal. Hal ini berdasarkan
firman Allah SWT yang artinya. “Hai
orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”. (QS al-Maidah/5: 1). Dan hadist Rasulullah SAW : “Diriwayatkan dari Amru bin Auf bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang
islam itu terikat dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang
halal dan menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmizi).
Melihat
hadist diatas, maka persyaratan dalam Jual beli dibagi menjadi dua yaitu :
1. Persyaratan
yang dibenarkan dalam agama
2. Persyaratan
yang dilarang dalam agama
Adapun
persyaratan yang dibenarkan dalam agama, misalnya :[6]
1. Persayaratan
yang sesuai dengan akad. Misalnya sesorang membeli mobil dan mempersyaratkan
kepada penjual agar menanggung cacatnya.
2. Persyaratan
Tausiqiyah, yaitu penjual mesyaratkan
pembeli mengajukan dhamin (penjamin/ guarantor).
3. Persyaratan
Wasyfiyah, yaitu pembeli mengajukan
persyaratan kriteria tertentu pada barang atau cara tertentu pada pembayaran.
4. Persyaratan
manfaat pada barang.
5. Persyaratan
Taqyidiyyah, yaitu salah satu pihak
mensyaratkan hal yang bertentantangan dengan kewenangan kepemilikan.
6. Persyaratan
akad fi akad, yaitu menggabunbgkan dua akad dalam satu akad.
7. Syarat
jaza’i (persyaratan denda/ kausul
penalti), yaitu persyaratan yang terdapat dalam suatu akad mengenai pengenaan
denda apabila ketentuan akad tiudak terpenuhi.
8. Syarat
Takliqiyyah. Misalnya penjual berkata
: “saya jual mobil ini kepadamu dengan
harga Rp50.000.000,- jika orangtuaku setuju”. Lalu pembeli
berkata, “saya terima”. Dan jika
orang tuanya setuju maka akadnya sah.
Adapun
persyaratan yang dilarang dalam agama, Misalnya :
1. Persyaratan
yang menggabungkan akad Qaradh dengan
Ba’i, misalnya : Pak Ahmad
meminjamkan uang kepada Pak Khalid sebanyak Rp50.000.000,- dan akan
dikembalikan dengan jumlah yang sama dengan syarat Pak Khalid menjual mobilnya
kepada Pak Ahmad dengan harga Rp30.000.000,-.
Persyaratan ini
hukumnya haram karena merupakan media menuju Riba, karena harga mmobil Pak
Khalid lebih mahal dari tawaran Pak Ahmad, akan tetapi ia merasa sungkan
menaikkan harga mobil mengingat pinjaman yang akan diberikannya. Rasulullah SAW
bersabda : “Tidak dihalalkan
menggabungkan akad pinjaman uang dengan akad ba’i.”(HR. Abu Daud).
2. Persyaratan
yang bertentangan dengan tujuan akad. Misalnya, seseorang menjual mobilnya
dengan syarat kepemilikannya tidak berpindah kepada pembeli. Persyaratan ini
bertentangan dengan tujuan akad, karena tujuan akad Ba’i adalah perpindahan kepemilikan barang dari penjual kepada
pembeli dan dengan adanya persyaratan ini maka akad Ba’i menjadi semu. Inilah bentuk-bentuk peryaratan yang tidak
dibenarkan dan tidak wajib dipenuhi, berdasarkan sabda Nabi SAW: “setiap persyaratan yang bertentangan dengan
nama Allah tidak sah sekalipun 100 persyaratan.” HR. Bukhari Muslim)[7]
2.
Akad
dalam Jual beli
1.
Salam (In-Front Payment
Sale)
a.
Pengertian
Salam (Jual beli dengan Pembayaran di Muka)
Salam
sinonim dengan salaf.
Salam secara termonologis adalah
transaksi terhadap sesuatu yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan dalam
suatu tempo dengan harga yang diberikan kontan ditempat transaksi.[8]
Menurut Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah, Salam adalah jasa
pembiayaan yang berkaitan dengan Jual beli yang pembiayaannya dilakukan
bersamaan dengan pemesanan barang.[9]
b.
Rukun
dan Syarat Salam
Sebagaimana Jual beli,
dalam akad Salam harus terpenuhi
rukun dan syartanya. Adapun rukun Salam
menurut jumhur ulama ada 3 yaitu :[10]
·
Shigat,
yaitu ijab dan Kabul
·
‘aqidani (dua orang yang melakukan transa.ksi), yaitu orang yang
memesan dan orang yang menerima pesanan.
·
Objek transaksi, yaitu
harga dan barang yang dipesan.[11]
Adapun syarat-syarat
dalam Salam sebagai berikut :
·
Uang dibayar ditempat
akad, berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu
·
Barangnya menjadi
hutang bagi penjual.
·
Barangnya dapat
diberikan sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu dijanjikan
barang itu harus sudah ada.
·
Barang tersebut
hendaklah jelas ukurannya, takarannya, ataupun bilagannya, menurut kebiasaan
cara menjual barang semacan itu.
·
Diketahui dan
disebutkan sifat-sifat dan macam barangnya dengan jelas, agar tidak ada
keraguan yang mengakibatkan perselisihan antara keddua belah pihak.
·
Disebutkan tempat
menerimanya.[12]
2.
Dasar Hukum Salam
Yang
menjadi dalil pelaksanaan Jual beli Salam
yaitu :
a) QS.
Al-Baqarah/2: 282 sebagai berikut : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermuammalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian
menuliskannya.”
b) Al-Hadist
sebagai berikut : “Ibnu Abbas
meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW dating ke Madinah dimana penduduknya
melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan
tiga tahun. Beliau berkata “Barang siapa yang melakukan salafm (salam),
hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula,
untuk jangka waktu yang ditentukan.” Dalam hadist lain : “Dari Shihab r.a, bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: Jual beli secara
tangguh, muqharabah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk
keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah).
3.
Riba
a.
Pengertian Riba
Kata
Riba diterjemahkan dalam bahasa inggris dengan usury yang mengandung dua
dimensi pengertian yaitu:
1) Tindakan
atau praktik peminjaman uang dengan tingkat suku bunga yang berlebihan dan
tidak sesuai dengan hukum.
2) Suku
bunga dengan rate yang tinggi.
Al
qur’an dan hadis menggunakan istilah “Riba” yang oleh para ahli diterjemahkan
sebagai “bunga”. Kita tidak menjumpai definisi bagi istilah tersebut baik di
dalam Al qur’an maupun didalam hadis Nabi SAW. [13]
b.
Dasar
logis pelarangan Riba
Sumber
utama (Al-qur’an dan Sunnah) tidak memberikan dasar pemikiran mendetail atas
pelarangan Riba (bunga) yang menyebut bunga sebagai bagian dari ketidakadilan.
Para cendikiawan muslim kontemporer, khususnya para ekonom, telah memberikan
beberapa dasar pemikiran bagi pelarangan ini dengan menunjukkan secara tidak
langsung konsekuensi dari dari eksistensi bunga pada masyarakat modern, atau
dengan berpendapat bahwa teori ekonomi modern tidak memberikan justifikasi bagi
eksistensi keharusan tingkat suku bunga. Sebagian yang lain berpendapat bahwa
kebijakaan dan pemahaman manusia amat terbatas jika dibandingkan dengan
pengetahuan Allah SWT. Dan karena setiap usaha untuk memahami secara penuh
dasar pemikiran pelarangan Riba bisa jadi tidak memberikan pemahaman yang
optimal.
c.
Jenis-jenis Riba dimasa
kehadiran Islam
Berdasarkan
praktik yang berlaku dimasa kehadiran Islam serta dengan tetap memandang hadis
nabi Muhammad SAW, para fuqaha menggolongkan Riba menjadi 2, yakni:
1) Riba
Nasi’ ah, berarti bunga yang dikenakan pada uang pinjaman. Menurut para fuqaha,
Riba nasi’ah mengandung 3 elemen berikut:
a) Kelebihan
dari utang pokok.
b) Menentekukan
besarnya kelebihan tersebut dalam hubungannya dengan waktu.
c) Kelebihan
tersebut syarat berlangsung transaksi pinjaman.
2) Riba
Fadhl adalah nama bunga pada transaksi barter komoditas. Ribanya terletak pada
pembayaran tambahan oleh debitur kepada kreditur dalam pertukaran komoditas
sejenis, seperti gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, dan sebagainya.
Unsur-unsur Riba Fadhl adalah sebagai berikut:
a) Kedua
barang yang dipertukarkan adalah homongen atau sejenis.
b) Jumlah
keduanya berbeda dalam timbangan maupun takaran.
c) Transaksi
itu mestilah tidak berlangsung tunai.
d.
Al-qur’an tentang Riba
Di
masa-masa awal munculnya islam, bunga telah ada di dalam masyarakat arab dalam
transaksi pinjaman uang maupun transaksi barter komoditas. Berikut ini adalah
ayat-ayat al-qur’an yang berhubungn dengan bunga :
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan
berlipat ganda[14]
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” ( QS. Ali ‘Imran [3] : 130 ).
e.
Hadist Nabi Muhammad SAW
tentang bunga (Riba)
Berikut
ini ada hadist nabi muhammad yang berhubungan dengan bunga :
“Umar bin al-khathab meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Emas ditukar emas adalah Riba kecuali
(transaksi) tunai; perak ditukar perak adalah Riba kecuali (transaksi) tunai;
gandum ditukar gandum adalah Riba kecuali (transaksi) tunai; bur ditukar
bur adalah Riba kecuali (transaksi) tunai; kurma ditukar kurma adalah Riba
kecuali (transaksi) tunai.” (HR. Bukhari
dan Muslim).
f.
Sebab-sebab dilarangnya
bunga
Sebab-sebab
dilarangnya bunga yaitu :
a) Riba
atau bunga menanamkan rasa kikir, mementingkan diri sendiri, tak berperasaan,
tak peduli, kejam, rakus, dan penyembahan terhadap harta. Bunga menghancurkan
semangat simpati, saling tolong dan kerja sama.
b) Bunga
mengembangbiakkan kemalasan dan
menimbulkan pendapatan tanpa bekerja.
c) Bunga
juga menebabkan timbunya kejahatan ekonomi. Ia mendorong orang melakukan
penimbunan uang.
d) Investasi
modal terhalangdari perusahaan-perusahaan yang tidak mampu menghasilkan laba
yang sama atau lebih tinggi dari suku bunga yang sedang berjalan.
e) Bunga
yang dipungut pada utang internasional malah lebih buruk lagi karena
memperparah DSR(Debt-service ratio) negara-negara
debitur.
4.
Murabahah (Laba)
a.
Pengertian Murabahah
(Laba)
Murabahah atau disebut juga ba’i
bitsmanil ajil. Kata Murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan).Sehingga Murabahah berarti saling menguntungkan.
Secara sederhana Murabahah berarti Jual beli barang ditambah keuntungan
yang disepakati. Jual beli secara Murabahah
secara terminologis adalah
pembiayaan yang saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi Jual
beli dengan penjelasan bahwa harga penggadaan barang dan harga jual terdapat
nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembabilannya dilakukan secara tunai atau
angsur.[15]
b.
Dasar Hukum
Murabahah adalah suatu jenis Jual beli yang dibenarkan dalam
syariah dan merupakan implementasi
Muammalah tijariyah (interaksi bisnis). Hal ini berdasarkan kepada Q.S al-Baqarah/2: 275: “Allah menghalalkan Jual beli dan mengharamkan Riba”.
Perhatikan tabel dibawah ini.
No
|
Jual beli Murabahah
|
Bunga/Riba
|
1
|
Barang sebagai objek, nasabah berutang barang, bukan
berurang uang.
|
Uang sebagai objek, nasabah sebagai uang.
|
2
|
Sektor moneter terkait dengan sektor riil, sehingga
menyentuh langsung sektor riil.
|
Sektor moneter dan riil terpisah, dan ada keharusan
mengkaitkan sektor moeter dan riil.
|
3
|
Mendorong percepatan arus barang, mendorong
produktivitas dan trapreneurship, yang
pada gilirannya meningkatkan employment.
|
Tidak mendorong percepatan arus barang, karena tidak
mewajibkan adanya barang, tidak mendorong produktivitas yang pada
akhirnya menciptakan unemployment.
|
4
|
Pertukaran barang dengan uang.
|
Pertukarang uang dengan uang.
|
5
|
Margin tidak berubah.
|
Bunga berubah sesuai tingkat bunga.
|
6
|
Akad Jual beli dan memenuhi rukun Jual beli.
|
Tidak ada akad Jual beli, tetapi langsung dengan
komoditas.
|
7
|
Bila macet
tidak ada bunga berbunga.
|
Terjadi Compound
interest.
|
8
|
Jika nasabah tidak mampu membayar, tidak ada denda (Q.S Al- Baqarah/ 2: 283).
|
Denda/ bunga.
|
9
|
Jika nasabah dinilai mampu, tetapi tidak membayar,
dikenakan denda untuk mendidik. dananya untuk sosial bukan pendapatan bank.
|
Denda/ bunga berbunga cenderung
mendzalimi/ekploitasi,tidak mendidik dan denda bunga menjadi pendapatan bank.
|
10
|
Terjadinya pemindahan kepemilikan, barang sekaligus menjadi
jaminan.
|
Tidak ada pemindahan kepemilikan.
|
11
|
Tidak membuka jalan spekulasi.
|
Bunga membuka peluang/ menjadi lahan spekulasi.
|
12
|
Sah, halal dan penuh berkah.
|
Tidak sah, dan jauh dari berkah serta mendapat laknat.
|
13
|
Uang sebagai alat tukar (purchashing power).
|
Over supply of
money (Inflasi dan devaluasi ).
|
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
1. Kesimpulan
Jual beli itu adalah tukar menukar barang. Hal ini
telah dipraktikkan oleh masyarakat primitif ketika uang belum digunakan sebagai
alat tukar menukar barang, yaitu dengan sistem barter yang dalam Terminologi
Fiqh disebut dengan Ba’i Al-Muqayyadah.
Kata Riba diterjemahkan dalam bahasa inggris dengan
usury yang mengandung dua dimensi pengertian yaitu, Pertama, Tindakan atau praktik peminjaman uang dengan tingkat suku
bunga yang berlebihan dan tidak sesuai dengan Hukum. Kedua, Suku bunga dengan rate
yang tinggi. Adapun pembagian Riba ada 2 macam yaitu :
a. Riba
Nasi’ ah
b.
Riba fadhl
2. Saran
Kita sebagai umat muslim yang ta’at beragama tidak ada
salahnya bagi kita untuk bermuammalah, akan tetapi bermuammalahlah dengan cara
yang telah dianjurkan dalam islam yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan para
sahabat terdahullu.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan
makalah ini. Saran dan masukan dari kawan-kawan akan sangat membantu dalam
penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Mardani, Fiqh Ekonomi
Syari’ah (Fiqh Muammalah), (Jakarta: Kencana, Prenada Media, 2011).
[1] Yusuf
Alsubaly, Fiqh Perbankan Syari’ah :
Pengntar Fiqh Muammalah dan aplikasinya dalamEkonomi Modern, Alih Bahasan :
Erwandi Tarmizi, (TTP: Darul Ilmi, t.th,) hlm.6
[7] Ibid, hlm 17.
[8] Abdullah bin Muhammad
Ath-Thayyar, Ekslikopedi Muamalah, (Yogyakarta:
Maktabah al-Hanif, 2009), Hlm 237.
[9] Pasal 20 ayat (34).
[10] Menurut Imam Hanafi
bahwa rukun Salam itu Shigat saja.
[11] Abdullah bin Muhammad
Ath-Thayar, Op. cit, hlm. 138.
[13] Sebenrnya, bukan hanya Riba
yang tidak difenisikan oleh Al qur’an maupun sunnah nabi SAW., bahkan semua
kejahatan yang lain juga tidak difenisikan, seperti membunuh, berzina, mencuri,
dan sebagainya yang jelas baik Al Qur’an maupun sunnah nabi SAW menggunakan
istilah langsung dimengerti oleh para pendengar pertama mereka, yakni orang
Arab pada masa itu.
[14] Yang
dimaksud Riba disini ialah Riba nasi’ah, menurut sebagian besar ulama bahwa Riba
nasi’ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda