Makalah
Ushul Fiqh dan Fiqh
SEJARAH
PERKEMBANGAN ILMU FIQH DAN USHUL FIQH
Disusun
Oleh :
1.
Nama : NIM
2.
Nama : NIM
3.
Nama : NIM
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM,
BANDA ACEH
2014/2015
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Dzat yang menegakkan langit, membentangkan bumi, dan mengurusi
seluruh makhluk. Dzat yang mengutus rasulullah saw. Sebagai pembawa petunjuk dan menjelaskan syariat agama
kepada setiap mukallaf secara jelas dan
terang.
Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw. hamba dan utusan nya
yang tercinta, sosok yang paling utama diantara seluruh makhluk. Beliau
dimuliakan dengan Al-Quran yang merupakan mukjizat serta sunnah yang menjadi pembimbing bagi umat
manusia. Rahmat dan keselamatan Allah semoga selalu dilimpahkan kepada seluruh
nabi dan rasul, kepada keluarga, dan para shalihan.
Terima kasih kami ucapkan kepada bapak pembimbing yang telah membimbing
serta mengajarkan kami, dan
mendukung kami sehingga terselesaikan makalah yang berjudul “Sejarah perkembangan Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh” dan juga terima
kasih yang sebesar – besarnya kami ucapkan
kepada semua pihak yang telah membantu kami sehingga terselesaikan makalah ini.
Seperti kata pepatah “Tiada gading yang tak retak”, demikian
pula dengan makalah ini, tentu masih banyak kekurangan. kami menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan
kekhilafan, maka dengan hal itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak sehingga ke
depan dapat menjadi koreksi untuk kemajuan dan lebih baik demi
penyempurnaan makalah ini.
Banda Aceh, 02
November
2014
Penulis
DAFTARISI
KATAPENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... ....... 1
1.
LatarBelakang................................................................................. 1
2.
Rumusan Masalah................................................................... ....... 1
3.
Tujuan Penulisan..................................................................... ....... 1
BABII PEMBAHASAN.................................................................................... 2
1.
Periode Rasulullah.......................................................................... 2
2.
Periode Sahabat.............................................................................. 5
3.
Periode Tabi’in dan Imam Mazhab.......................................... ...... 7
4.
Tahap Perkembagan Ushul Fiqh............................................. ....... 8
a)
Tahap awal (abad 3H)..................................................... ...... 8
b)
Tahap perkembambangan (abad 4H)............................... ....... 9
c)
Tahap penyempurnaan (5-6 H) ....................................... ..... 11
5.
Pembukuan Ushul Fiqh .......................................................... ..... 12
6.
Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh .............................................. ..... 15
a)
Aliran Mutakallimin ........................................................ ..... 15
b)
Aliran Fuqaha .................................................................. ..... 16
c)
Aliran Gabungan ............................................................. ..... 16
BABIII PENUTUP..................................................................................... 18
1.
Kesimpulan................................................................................... 18
2.
Saran............................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 19
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh
dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, ushul fiqih
tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman
Rasulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti
ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah
sahabat. Dan di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan
kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan
dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai
Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak
zaman Rasulullah saw., sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran
hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran
belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu
tersendiri.
2.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana perkembangan ushul fiqih pada masa Nabi?
b.
Bagaimana perkembangan ushul fiqih pada masa
sahabat dan tabi’in?
c.
Bagaimana tahap-tahap perkembangan ushul
fiqih?
d.
Bagaimana pembukuan ushul fiqih?
3.
Tujuan Penulisan
a.
Mengetahui
sejarah Ushul Fiqh dan Fiqh
b.
Menyelesaika
tugas kelompok yang telah diberikan oleh Dosen
c.
Mendapatkan
wawasan dan ilmu yang baru
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Periode Rasulullah
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu
Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya
wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka
Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian
dikenal dengan hadits atau sunnah.
Hal ini antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW
sebagai berikut: “Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepadamu
melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah).
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam) dikembalikan
kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu
Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang
menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan
pada Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi
gubernur di Yaman. Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Sesungguhnya
Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz
bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya
putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau
temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah
Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah
Rasul?!, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi
bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan
Rasulullah“ (HR. Bukhari).
Dari keterangan di atas
dapat dipahami bahwa Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa
sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan
tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang
membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya
di dalam al-Quran, kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut
tidak ditemukan maka dapat berijtihad.
Hadits ini secara tersurat
tidak menunjukkan adanya upaya Nabi mengembangkan Ilmu Ushul Fiqh, tapi
secara tersirat jelas Nabi telah memberikan keluasan dalam mengembangkan akal
untuk menetapkan hukum yang belum tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah.
Artinya dengan
keluwesannya Nabi dalam melakukan pemecahan masalah-masalah ijtihadiyah
telah memberikan legalitas yang kuat terhadap para sahabat. Dalam sebuah
haditsnya yang mengandung kebolehan bagi manusia untuk mencari solusi terhadap
urusan-urusan keduniaan.
Rasulullah
bersabda :
ا نتم ا علم با مو ر د نيا كم
“Kamu lebih
mengetahui tentang urusan duniamu.”
Dorongan untuk melakukan
ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan tentang
pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang
sungguh-sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau
salah.
Ada satu hal yang perlu
dicatat, kehadiran Nabi sebagai pemegang otoritas tunggal dalam
permasalahan-permasalahan hukum membuat Nabi sangat berhati-hati disatu pihak,
dan terbuka dipihak lain. Sikap hati-hati yang ditempuh oleh Nabi dalam rangka
penerapan hukum Islam bidang ibadah. Penjelasan Nabi yang berkaitan dengan ini
cukup rinci. Wahyu memegang peranan sangat penting. Sikap terbuka yang ditempuh
oleh Nabi dalam upaya pengembangan hukum Islam bidang muamalah.
Dalam beberapa kasus,
Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat.
Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab tentang batal atau tidaknya
puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila
kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?” Umar
menjawab:”Tidak apa-apa” (tidak batal). Rasulullah kemudian bersabda “maka
teruskan puasamu.”(HR
al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).
Hadits ini
mengidentifikasikan kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelas telah menggunakan
qiyas dalam menetapkan hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak batalnya
seseorang yang sedang berpuasa karena mencium istrinya sebagaimana tidak
batalnya puasa karena berkumur-kumur.
2.
Periode Sahabat
Semenjak Nabi Saw wafat, pengganti beliau adalah para sahabatnya.
Periode ini dimulai pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 1 H (50 H).
Pembinaan hukum Islam dipegang oleh para pembesar sahabat, seperti Umar bin
Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada masa ini pintu
ijtihad/istimbat telah mulai dikembangkan, yang pada masa Nabi Saw tidak pernah
mereka gunakan, terkecuali dalam permasalahan yang amat sedikit.
Para sahabat menggunakan istilah “al-Ra’yu”, istilah ini dalam
pandangan sahabat seperti yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim dalam kitab I’lam
al-Muwaqqi’in- adalah sesuatu yang dilihat oleh hati setelah terjadi proses
pemikiran, perenungan dan pencarian untuk mengetahui sisi kebenaran dari
permasalahan yang membutuhkan penyelesaian. Al-Ra’yu dalam pengertian ini
mencakup qiyas, istihsan dan istishlah. Meskipun demikian mereka belum
menamakan metode penggalian hukum seperti ini dengan nama ilmu Ushul Fiqih, namun
secara teori mereka telah mengamalkan metodenya.
Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru
yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari
ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya
hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah
SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan
sumber hukum.
Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA
tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena
kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita
yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan
maharnya, hanya berhak mendapatkan mut’ah. Ali menyamakan kedudukan wanita
tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri
serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara’ ditetapkan hak mut’ah
baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah yang artinya artinya :
“Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu
menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu memberikan mut’ah (pemberian) kepada
mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”
(Al-Baqarah : 236).
Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikian
pula oleh para sahabatnya baik di kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah
beliau wafat, tampak adanya cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidak
dikemukakan dan tidak disusun kaidah-kaidah (aturan-aturan)nya ; sebagaimana yang
kita kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh ; karena pada masa Rasulullah SAW, demikian
pula pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam
berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabat
telah terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu tidak disusun
sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fiqh karena pada
waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya. Yang demikian itu, karena Rasulullah
SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum baik secara langsung atau
tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam
berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab turun (asbabun nuzul)
ayat-ayat Al-Qur’an, sebab-sebab datang (asbabul wurud) Al- Hadits, mempunyai
ketazaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam
menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka mempunyai pengetahuan yang
luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri (Arab) yang juga bahasa
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka miliki itu, mereka
mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah.
3.
Periode Tabi’in dan Imam Mazhab
Pada masa tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para imam mujtahid, di sekitar
abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas,
sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab
atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat
istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah
tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam.
Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai
daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang
timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari
ketetapan hukumnya.
Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena
pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan
pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang
besar dan lebih bersemarak.
Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan
perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang
ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu
daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama
tinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama
untuk menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan
tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan
banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah
pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara
orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan
bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun
dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang
demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan
dalam memahami nash-nash syara’. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun
kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara’
sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash
tersebut.
4.
Tahap Perkembangan Ushul Fiqh
Secara garis besarnya, ushul fiqh
dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu:
a) Tahap awal (abad 3H)
Pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin
meluas kebagian timur.khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah :
Al-Ma’mun(w.218H), Al-Mu’tashim(w.227H), Al Wasiq(w.232H), dan
Al-Mutawakil(w.247H) pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah
dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan Arrasyid. salah satu hasil
dari kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah
berkembangnya bidang fiqh yang pada giliranya mendorong untuk disusunya metode
berfikir fiqih yang disebut ushul fiqh.
Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun
seara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah karangan
As-Syafi’i. kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang bertnilai tinggi.
Ar-Razi berkata “kedudukan As-Syafi’i dalam ushul fiqh setingkat dengan
kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam
ilmu Ar-rud”.
Ulama sebelum As-Syafi’i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh
dan menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum
yang menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari’at
dan cara memegangi dan cara mentarjih kanya: maka datanglah Al-Syafi’i menyusun
ilmu ushul fiqih yang merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan
rujukan-rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syar’I, kalaupun ada
orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqh sesudah As-Syafi;I, mereka tetap
bergantung pada Asy-Syafi’i karena Asy-Syafi’ilah yang membuka jalan untuk
pertama kalinya.
Selain kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah
kitab ushu fiqh lainya. Isa Ibnu Iban(w.221H\835 M) menulis kitab Itsbat
Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid, ijtihad ar-ra’yu. Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham
(w.221H\835M) menulis kitab An-Nakl dan sebagainya.
Namun perlu diketahui pada umumnya kitab ushul-fiqh yang ada pada abad
3 h ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan
mencakup segala aspeknya kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalah
lah yang mencakup permasalahan-permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat
perhatian Para Fuqoha pada zaman itu.
Disamping itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada, kebanyakan termuat
dalam kitab-kitab fiqh, dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama-ulama
tertentu mengklaim bahwa Imam Madzhabnya sebagai perintis pertama ilmu ushul
fiqh tersebut. Golongan Malikiyah misalnya mengklaim imam madzhabnya sebagai
perintis pertama ushul fiqh dikarenakan Imam Malik telah menyinggung sebagian
kaidah-kaidah ushuliyyah dalam kitabnya Al Muwatha. Ketika ia ditanya tentang
kemungkinan adanya dua hadits shoheh yang berlawanan yang datang dari
Rasulluloh pada saat yang sama, Malik menolaknya dengan tegas, karena ia
berperinsip bahwa kebenaran itu hanya terdapat dalam satu hadits saja.
b) Tahap perkembangan (abad 4 H)
Pada masa ini abad(4H) merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty
abaSsiyah dalam bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah
kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak
berpengaruh terhadap perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama
ketika itu karena masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan negrinya
dengan memperbanyak kaum intelektual.
Khusus dibidang pemikiran fiqh Islam pada masa ini mempunyai
karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran
liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. mereka
mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan sehingga seorang
faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikiran yang khas, terkecuali dalam hal-hal
kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqh semakin mantap exsitensinya, apa lagi
disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya
kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab
sewaktu-waktu.
Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan
taqlid, karena masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan
kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang dirintis oleh para
pendahulunya.dengan melakukan usaha antara lain:
·
Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan
oleh para imam mereka mereka disebut ulama takhrij
·
Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam
madzhab baik dalam segi riwayat dan dirayah.
·
Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai
masalah khilafiyah. Mereka menyusu kitab al-khilaf.
Akan tetapi tidak bisa di ingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini
telah tertutup, akibatnya dalam perkembangan fiqh Islam adalah sebagai berikut:
·
Kegiatan para ulama terbatas terbatas dalam menyampaikan
apa yang telah ada, mereka cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu
atau memahami dan meringkasnya.
·
Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian
banyaknya dalam uaraian yang sungkat
·
Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa
masalah permasalahan.
Keadaan tersebut sangat, jauh berbeda di bidang ushul fiqh. Terhentinya
ijtihad dalam fiqh dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para
ulama terdahulu dan mentarjihkanya. Justru memainkan peranan yang sangat besar
dalam bidang ushul fiqh.
Sebagai tanda berembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini ditandai
dengan munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karaya ulama-ulama
fiqh diantara kitab yan terekenal adalah:
·
Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan
Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi,(w.340H.)
·
Kitab Al –Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh
Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (305H.)
·
Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad
Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh
pada abad 4h yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh
secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa
sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu
semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.
Selain itu Materi berpikir dan penulisan dalam kitab-kitab yang ada
sebelumnya dan menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana dalam kitab
fushul-fi al-ushul karya abu baker ar-razi hal ini merupakan corak tersendiri
corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh pada awal abad 4h., juga
tampak pula pada abad ini pengaruh pemikiranyang bercorak filsafat, khususnya
metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu ushul fiqih.
c) Tahap penyempurnaan ( 5-6 H )
Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa
daulah kecil, membawa arti bagi perkembanangan peradaban dunia Islam.
Peradaban Islam tak lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti
Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar
dari para sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan
ilmu dan peradaban.
Hingga berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang
menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mndalaminya,
antara lain Al-Baqilani, Al-Qhandi, abd. Al-jabar, abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu
Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al Bashri, Imam Al-Haramain, Abd. Malik Al-Juwani,
Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain. Mereka adalah pelopor keilmuan Islam di
zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode dan
jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmu ushul fiqih yang tidak ada
bandinganya dalam penulisan dan pengkajian keislaman , itulah sebabnya pada
zaman itu, generasi Islam pada kemudian hri senantiasa menunjukan minatnya pada
produk-produk ushul fiqih dan menjadikanya sebagi sumber pemikiran.
Dalam sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini
merupakan periode penulisan ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat
kitab-kitab yang mnjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih
slanjutnya.
Kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis pada zaman ini, disamping
mencerminkan adanya kitab ushul fiqih bagi masing-masing madzhabnya, juga
menunjukan adanya alioran ushul fiqih, yakni aliran hanafiah yang dikenal
dengan alira fuqoha, dan aliran Mutakalimin.
5.
Pembukuan Ushul Fiqh
Salah satu yang mendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah
perkembangan wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang
menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan
hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum
yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan
hukum.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah
dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul
Fiqh.Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab
Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab
tersebut tidak sampai kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali
membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya
adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi’iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang
diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul
Fiqh yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para
ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh.
Pada periode ini, metode penggalian hokum juga bertambah banyak, baik
corak maupun ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah
istinbat hukum dan teknis penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam
memutuskan perkara membatasi ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadis,
fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati dan berijtihad dengan menggunakan
penalarannya sendiri, seperti istihsan. Abu Hanifah tidak mau menggunakan fatwa
ulama pada zamannya. Sebab ia berpandangan bahwa mereka sederajat dengan
dirinya. Imam Maliki –setelah al-Quran dan Hadis- lebih banyak menggunakan amal
(tradisi) ahli madinah dalam memutuskan hukum, dan maslahah-mursalah.
Pada periode inilah ilmu Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang
merintis pembukuan ilmu ini adalah Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish.
Ia memulai menyusun metode-metode penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya
serta petunjuk-petunjuk Ushul Fiqih. Dalam penyu-sunannya ini, Imam Syafi’i
bermodalkan peninggalan hukum-hukum fiqih yang diwariskan oleh generasi
pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran
fiqih yang bermacam-macam.
Berbekal pengalaman beliau yang pernah “nyantri” kepada Imam Malik
(ulama Madinah), Imam Muhammad bin Hasan (ulama Irak dan salah seorang murid
Abu Hanifah) serta fiqih Makkah yang dipelajarinya ketika berdomisili di Makkah
menjadikannya seorang yang berwawasan luas, yang dengan kecerdasannya menyusun
kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang
salah. Kaidah-kaidah inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushul
Fiqih. Oleh sebab itu Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membukukan ilmu
Ushul Fiqih, yang diberi nama “al-Risalah”. Namun demikian terdapat pula
pendapat dari kalangan syiah yang mengatakan bahwa Imam Muhammad Baqir adalah
orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih.
Sebenarnya,jauh sebelum dibukukannya ushul fiqih, ulama-ulama terdahulu
telah membuat teori-teori ushul yang dipegang oleh para pengikutnya
masing-masing. tak heran jika pengikut para ulama tersebut mengklaim bahwa
gurunyalah yang pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqih.
Kalau dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang ushul
fiqih sebelum dibukukannya adalah para sahabat dan tabi’in. Hal ini tidak
diperselisihkan lagi. Namun yang diperselisihkan adalah orang yang mula-mula
mengarang kitab ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang
bersifat umum dan mencakup segala aspeknya. Untuk itu kita perlu mengetahui
terlebih dahulu teori-teori penulisan dalam ilmu ushul fiqih. Secara garis
besar ada dua teori penulisan yang dikenal yakni.
Pertama,
merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab dalam bab fiqih dan
menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah tersebut. Teori inilah yang ditempuh
oleh golongan Hanafi dan merekalah yang merintisnya.
Kedua, merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahit dan meng-istinbat hukum dari sumber hukum syar’i,
tanpa terikat oleh pendapat seorang faqih atau suatu pemahaman yang sejalan
dengannya maupun yang bertentangan. Cara inilah yang ditempuh Al-Qur’an-syafi’i
dalam kitabnya ar-risalah, suatu kitab yang tersusun secara sempurna dalam
bidang ilmu ushul dan independen. Kitab seperti ini belum ada sebelumya,
menurut ijma’ ulama dan catatan sejarah (sulaiman:64).
6. Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh
Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu
tersebut tidak berhenti,
melainkan berkembang secara dinamis. Ada
beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal. Secara umum,
para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan aliran
fuqaha (Aliran Hanafiyah). Dari
kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut
diuraikan sebagai berikut:
a) Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin disebut juga dengan
aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut bisa dipahami mengingat
karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin
banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah. Aliran ini membangun ushul fiqih secara
teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu
pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, baik
dari dalil naqli, tanpa dipengaruhi masalah furu’ dan madzhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut sesuai
dengan masalah furu’ dan
adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap permasalahan yang didukung naqli
dapat dijadikan kaidah.
Dalam aliran
ini, mereka mempelajari ilmu ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu yang
terlepas dari pengaruh madzhab atau furu’,
faktornya karena :
a.
Imam Syafi’i sendiri yang menetapkan
bahwa dasar-dasar tasyri’ itu
memang terlepas dari pengaruh furu’.
b.
Mereka berkeinginan untuk mewujudkan
pembentukan kaidah-kaidah atas dasar-dasar yang kuat, tanpa terikat dengan furu’ atau madzhab.
c.
Mereka membuat penguat kaidah-kaidah
yang telah dibuatnya dengan menggunakan berbagai macam dalil, tanpa
menghiraukan apakah kaidah tersebut memperkuat madzhab atau melemahkannya.
Aliran
Mutakakallimin lebih berorienntasi kepada hal-hal
berikut, yakni:
a.
Analisis kasus-kasus
b.
Formulasi kaidah-kaidah hukum
(al-qawa’id)
c.
Aplikasi qiyas yang disertai penalaran
rasio sejauh mungkin
d.
Mengkonstruksi isu-isu fundamental
teori hukum tanpa terikat dengan fakta hukum yang kasuistis dan pikiran hukum
madzhab fiqh yang ada.
Semua pemikiran
mereka, dapat dilihat dari hasil karya mereka, dalam bentuk tiga kitab, yang
kemudian dikenal dengan sebutan al-Arkan
al-Tsalatsah yaitu sebagai berikut:
a.
Kitab al-Mu’tamad, karya Abu Husain Muhammad ibn ‘Ali al-Bashriy (w.
412 H).
b.
Kitab al-Burhan, karya al-Imam al-Haramain (w. 474 H).
c.
Kitab al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, karya al-Ghazali (w. 500 H).
d.
Al Mahsul karya fakhr al-Din Muhammad
bin Umar al- Razi al-Syafi’i (w. 606 H). Kitab ini diringkas oleh dua orang
dengan judul;
·
Al-Hasil oleh Taj al-Din Muhammad bin
Hasan al-Armawi (w. 656 H).
·
Al- Tahsil oleh Mahmud bin
Abu Bakar Al-Armawi (w. 672 H).
b) Aliran Fuqaha
Aliran yang
kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha
yang dianut oleh para ulama madzhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem
penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan kaidah
ushul fiqh, mereka berpedoman pada pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah dan
pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
Di antara
kitab-kitab standar dalam aliran fuqaha
ini antara lain: kitab al-Ushul
(Imam Abu Hasan al-Karakhiy), kitab al-Ushul
(Abu Bakar al-Jashash), Ushul
al-Syarakhsi (Imam al-Syarakhsi), Ta’shish
an-Nadzar (Imam Abu Zaid al-Dabusi), dan al-Kasyaf al-Asrar (Imam al-Bazdawi).
c) Aliran Gabungan
Pada
perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode
penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam
realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam
madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.
Karya-karya
gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah.
Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’
al-Nidzam al-Jami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan
gabungan antara kitab Ushul
karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya
al-Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi.
Ada pula kitab Tanqih Ushul
karya Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-Mahshul karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib, dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia
syarah sendiri dengan judul karya Shadr
al-Syari’ah al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh al-Tawdlih karya Sa’d al-Din al-Taftazani al-Syafii dan Jami’ al-Jawami’ karya Taj al-Din
al-Subki al-Syafi’i.
Tiga aliran di
atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada pula yang memasukkan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul dan
aliran khusus sebagai aliran lain dalam ushul fiqh. Aliran Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul dipandang
berwujud berdasarkan dua kitab yang secara jelas menyebut istilah tersebut,
yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘ala
al-Ushul karya al-Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Zanjani al-Hanafi.
Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu pokok bahasan
ushul fiqh tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai maslahah mursalah sebagaimana
dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat
atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur dalam Maqashid
al-Syariah.
BAB III
PENUTUPAN
1.
Kesimpulan
Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak
zaman Rasulullah saw., sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum
Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum
terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin
ilmu tersendiri
Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum
diketahui hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan
kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali
dan menetapkan hukum maka disusunlah kitab ushul fiqih .
Bahwa
kegiatan ulama dalam penulisan ushul fiqih merupakan salah satu upaya dalam
menjaga keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya kehidupan social yang
berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimuali pada abad ketiga hijriyah.
ushul fiqih terus berkembang menuju kesempurnaanya hingga abad kelima dan awal
abad 6H abad tersbut merupakan abad keemasan penulisan ilmu ushul fiqh Karena
banyak ulama yang mmusatkan perhatianya pada bidang ushul fiqih dan juga muncul
kitab-kitab fiqih yang menjadi standar dan rujukan untuk ushul fiqih
selanjutnya.
2.
Saran
Kami selaku insan biasa tak luput dari kesalahan, dan
masih banyak kekuranga dalam penulisan makalah, oleh karena itu saran da
masukan dari kawan-kawan akan sangat membantu dalam penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Syafi’I,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia
bandung,2007,bandung.
Hasim Kamali, Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam,Pustaka
Pelajar Offse, 1996,Jakarta.
Djazuli, Ilmu Fiqh, Prenada Media Group,2007,Jakarta.
Zulhusaini. 2012.
Makalah Ushul fiqh- Sejarah Perkembangan
Ushul Fiqh. (Online) Diakses pada tanggal 02 November 2014. Pada jam 12.00
WIB.
Muhammad Dhakim Azhari. 2014.
Sejarah Perkembaga dan Aliran-Aliran
Ushul Fiqh. (Online) Diakses pada tanggal 02 November 2014. Pada jam 12.00
WIB.
0 komentar:
Posting Komentar