Selasa, 24 Juni 2014

TOLAK UKUR BAIK DAN BURUK MENURUT AJARAN ISLAM



TOLAK UKUR BAIK DAN BURUK MENURUT AJARAN ISLAM

Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Perlu ditambahkan, bahwa apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.
Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumber dari wahyu Allah swt,. Al-Qur’an yang penjabarannya dilakukan oleh hadis Nabi Muhammad saw. Masalah akhlak mendapat tempat perhatian yang besar dalam Islam. Penentuan baik dan buruk harus didasarkan kepada petunjuk al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad saw.
Konsep Baik dalam ajaran Islam, misalnya:
1.         Hasanah; sesuatu yang disukai atau dipandang baik (QS. 16: 125, 28: 84)
2.         Tayyibah; sesuatu yang memberikan kelezatan kepada panca indera dan jiwa (QS. 2: 57).
3.         Khair; sesuatu yang baik menurut umat manusia (QS. 2: 158).
4.         Mahmudah; sesuatu yang utama akibat melaksanakan sesuatu yang disukai Allah (QS. 17: 79).
5.         Karimah; perbuatan terpuji yang ditampakkan dalam kehidupan sehari-hari (QS. 17: 23).
6.         Birr; upaya memperbanyak perbuatan baik (QS. 2: 177).
Dengan demikian menjadi wajar kalau kemudian ada ulama’ yang menegaskan bahwa melakukan kebaikan lebih mudah dibandingkan kejahatan. Muhamad Abduh misalnya, dengan merujuk kepada Qs. al-Baqarah (2):286—laha ma kasabat wa ’alaha ma iktasabat—(untuk manusia ganjaran bagi perbuatan baik yang dilakukannya dan sanksi bagi perbuatan (buruk) yang dilakukannya), menyatakan bahwa iktasabat—dan semua kata yang berpatron demikian, memberikan arti adanya semacam upaya sungguh-sungguh dari pelakunya, bebeda dengan kasabat yang berarti dilakukan dengan mudah tanpa paksaan. Ini menandakan bahwa fitrah manusia pada dasarnya cenderung kepada kebaikan, sehingga dapat melakukan kebaikan dengan mudah. Berbeda dengan keburukan yang harus dilakukannya dengan susah payah dan keterpaksaan (ini tentu pada saat fitrah manusia masih berada dalam kesuciannya).
Adanya potensi manusia untuk bertindak baik dan buruk, meski kecendetungan mendasarnya ke arah kebaikan, jelas relevan dengan adanya konsep baik dan buruk dalam teori etika/akhlak. Memang dalam wacana teologis dikenal adanya dua konsep yang berlainan mengenai hal itu, yang antara lain direpresentasikan oleh Mu’tazilah dan Asy’ariah. Bagi Mu’tazilah, baik dan buruk itu bersifat esensial, dimana keadilan misalnya, ia dikatakan baik karena memang esensinya baik dan sebaliknya keburukan semisal dusta, ia dinyatakan buruk karena memang esensinya adalah buruk. Terhadap dua pandangan kontras ini kemudian M. Quraish Shihab memberikan penegasan bahwa tolok ukur kebaikan dan keburukan hanyalah ketentuan Allah yakni wahyu (al-Qur’an dan al-Hadis). Lebih jauh Shihab menambahkan, bahwa apa yang dinilai baik oleh Allah pastilah baik esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan misalnya sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya adalah buruk. Kalau memang demikian dapat dikatakan bahwa kebaikan adalah hal-hal yang sesuai dengan ketentuan dan aturan Tuhan, dan pasti baik bula esensinya; sedangkan kejahatan adalah hal-hal yang dilarang dan tidak sesuai dengan aturan-aturan Tuhan, dan tentu juga buruk esensinya.
Semua sifat Allah tertuang dalam Al-Quran. Jumlahnya bahkan melebihi 99 sifat yang populer disebutkan dalam hadis.  Sifat-sifat Allah itu merupakan satu kesatuan. Bukankah Dia Esa di dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya? Karenanya tidak wajar jika sifat-sifat itu dinilai saling bertentangan. Artinya, semua sifat memiliki tempatnya masing-masing. ada tempat untuk keperkasaan dan keangkuhan Allah, juga tempat kasih sayang dan kelemah-lembutan-Nya. Ketika seorang Muslim meneladani sifat Al-Kibriya' (Keangkuhan Allah), ia harus ingat bahwa sifat itu tidak akan disandang oleh Tuhan kecuali dalam konteks ancaman terhadap para pembangkang, terhadap orang yang merasa dirinya superior. Ketika Rasul Saw melihat seseorang yang berjalan dengan angkuh di medan perang, beliau bersabda: "Itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah, kecuali dalam kondisi semacam ini".
Seseorang yang berusaha meneladani sifat Al-Kibriya' tidak akan meneladaninya kecuali terhadap manusia-manusia yang angkuh. Dalam konteks ini ditemukan riwayat yang menyatakan: "Bersikap angkuh terhadap orang yang angkuh adalah sedekah".
Ketika seorang Muslim berusaha meneladani kekuatan dan kebesaran Ilahi, harus diingat bahwa sebagai makhluk ia terdiri dan jasad dan ruh, sehingga keduanya harus sama-sama kuat. Kekuatan dan kebesaran itu mesti diarahkan untuk membantu yang kecil dan lemah, bukan digunakan untuk menopang yang salah maupun yang sewenang-wenang. Karena ketika Al-Quran mengulang-ulang kebesaran Allah, Al-Quran juga menegaskan bahwa:
“Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang, angkuh lagi membanggakan diri (QS Luqman [31]: 18)”.
Jika seorang Muslim meneladani Allah Yang Mahakaya, ia harus menyadari bahwa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menunjukkan sifat itu adalah Al-Ghani. Ini yang maknanya adalah tidak membutuhkan dan bukan kaya materi sehingga esensi sifat itu (kekayaan) adalah kemampuan berdiri sendiri atau tidak menghajatkan pihak lain, sehingga tidak perlu membuang air muka untuk meminta-minta.
“Orang-orang yang tidak tahu, menduga mereka kaya, karena mereka memelihara diri dari meminta-minta (QS Al-Baqarah [2]: 273).”
Tetapi dalam kedudukan manusia sebagai makhluk, ia sadar bahwa dirinya amat membutuhkan Allah:
“Wahai seluruh manusia, kamu sekalian adalah orang-orang faqir (butuh) kepada Allah (QS Fathir [35]: 15).”
Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam, rasul kita yang mulia mendapat pujian Allah. Karena ketinggian akhlak beliau sebagaimana firmanNya dalam surat Al Qalam ayat 4. bahkan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menegaskan bahwa kedatangannya adalah untuk menyempurnakan akhlak yang ada pada diri manusia, “Hanyalah aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak.” (HR.Ahmad, lihat Ash Shahihah oleh Asy Syaikh al Bani no.45 dan beliau menshahihkannya.

Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tolok ukur baik dan buruk ditentukan berdasarkan wahyu Allah dalam Al qur’an dan dalam prakteknya atau teladannya adalah akhlak Rasulullah SAW. Tolok ukur segala kebaikan dalam hal ini adalah akhlak manusia adalah seperti yang diperintahkan oleh Allah dalam firmannya serta akhlakulkarimah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan tolok ukur segala keburukan adalah segala sesuatu yang dilarang atau tidak diperintahkan oleh Allah dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi muhammad SAW.

0 komentar:

Posting Komentar